Mungkin karena berasal dari kampung…, maka bagi saya yang paling menarik dan paling saya sukai dari Pulau Bali justru adalah jajanan Nasi Jenggo. Nasi bungkus seharga Rp 1.500,-, yang dijual dipinggir-pinggir jalan! Dibungkus dengan daun pisang. Saya biasa makan 2-3 bungkus. Yang paling enak adalah yang di seputaran seberang gedung mall besar di daerah Kuta. Sambalnya itu lho…
Anda tentunya pernah mengalami makan yang seenak itu, makanan yang bagi orang lain mungkin biasa saja…, namun buat Anda… Wuihhh, enak bukan main.
Apakah Anda mengenali bahwa kita punya kemampuan untuk mengingat pengalaman makan enak, lantas bereaksi menjadi kepingin lagi makan enak. Ini mengandung arti  pikiran kita mampu mempengaruhi fisiologi kita. Alangkah baiknya, sebaiknya jangan    teruskan membaca artikel ini, karena dipenuhi dengan kata-kata yang akan mempengaruhi pikiran pembaca.
Baiklah…
Beberapa saat yang lalu saya diminta oleh suatu lembaga International pergi ke Pulau Bali selama 2 hari untuk suatu tugas pelatihan. Orang-orang dalam organisasi ini luar biasa sekali, saya senang berada di antara mereka. Berkumpul dengan orang open mind dan luar biasa selalu menarik minat saya….  Untuk tugas ini, saya mengajak salah satu teman yang sudah Master Practitioner of NLP. Ia adalah Associate Partner saya yang dulunya   belajarNLP di Sinergy Lintas Batas sekarang   ia menjadi salah satu konsultan trainer di perusahaan penerbangan yang ternama.
Untuk menyingkat cerita yang panjang, pada saat makan siang di hari kedua terjadi peristiwa yang menarik. Di tengah menunggu sajian makan siang, steak ala barat yang ….. (duh…, sudah dibilang saya lebih senang Nasi Jenggo lho), kami saling bercerita.
Entah kenapa, tiba-tiba seorang ibu peserta pelatihan yang sudah senior berkeluh kesah bahwa dirinya selalu stress, takut dan gemetaran kalau naik pesawat, terutama kalau mengalami guncangan di udara.
Nah, ia cemas sekali karena pelatihan sebentar lagi sudah mau selesai, dan ia sudah mulai dihantui rasa takut itu. Aduh, ia sudah mulai nyerocos menceritakan ketakutannya naik pesawat terbang, terlihat ia begitu associated dengan masalahnya. Ini mudah dipahami, karena bukankah kita semua dulu pernah cemas, saat akan menghadapi sesuatu yang kita takuti… ya khan?
Anda dengan mudah dapat membayangkan, bahwa makan siang itu di sebuah meja makan besar, terdiri dari sektar 17 orang termasuk saya. Suasana semula sangat segar dan kekeluargaan, nah bukankah akan menjadi aneh jika tiba-tiba saya mengubah pembicaraan menjadi suatu proses terapi.
Untungnya saja, kita pernah belajarNLP lho.
Salah satu yang membuat saya sangat senang menjadi praktisi yang belajarNLP adalah kesempatan membantu orang tanpa harus melakukan proses terapi formil. Tanpa harus meminta orang tutup mata, membayangkan ini itu, melakukan induksi formal, memerintahkan dengan skrip sugesti ini itu dan lain-lain.
Sungguh pantas, jika dalam NLP cara conversational ini disebut sebagai pendekatan yang elegan, yakni kita bisa membantu orang tanpa yang bersangkutan merasa diterapi. Bahkan ia sama sekali tidak mengerti bahwa ia sedang dibantu olah kita. Asyik-asyik saja. Tentu saja, tidak semua hal bisa didekati dengan cara ini…
Paparan ini tidak berarti bahwa terapi formil itu buruk atau kurang berguna, namun kita bisa lebih banyak membantu orang, jika kita piawai melakukan suatu “terapi” tanpa yang bersangkutan merasa diterapi. Semua dilakukan dengan conversational saja, bercakap-cakap. Jadi ini akan memperlengkapi perbekalan dan amunisi, di satu sisi Anda sekalian sudah jago melakukan terapi formal, kenapa tidak menambah bekel dengan kemampuan conversational yang tentunya sama mudah dan menariknya untuk dipelajari kok.

Attitude NLP-er
Saat melakukan conversational terapi pada klien tersebut, saya juga meniatkan suatu hal yang baik, untuk berbagi pemikiran dan ide pada associate partner saya -yang lulusan Master Practitioner Sinergy Lintas Batas- bahwa di mana saja kita bisa    bantu orang lain dengan ikhlas dan efektif, tanpa harus terjebak untuk “show off” bahwa kita ini bisa dan sedang membantu. Saya sendiripun masih terus belajar untuk dapat memiliki dan menjaga attitude ini.
Mudah dipahami bahwa dunia terapi conversational adalah dunia yang sepi. Benar-benar sepi pamrih, sepi pujian, sepi tepuk tangan, sepi kekaguman, sepi terima kasih. Sikapnya harus benar-benar murni membantu…
Bagi sobat yang senang dengan hal-hal yang berbau spiritual, maka dunia terapi conversational juga sangat spiritual, bahkan sangat spiritual 100%. Maksudnya adalah sepi ritual, sepi dari ritual-ritual dan puja puji… Hehehehe… Menulis kata spiritual, langsung membuat saya teringat akan web www.spiritualnlp.com, yang sampai sekarang masih sepi ritual penulisan. Hehehehe…!
Berlanjut…
Seraya mendengarkan ibu itu bertutur mengenai problemnya, maka pikiran berputar cepat mencari benda apa yang ada di atas meja ini yang bisa di-utilize (dimanfaatkan). Saya lihat ada beberapa benda, dan bawah sadar saya mengarahkan untuk memilih serbet makan (napkin) dan sendok kecil banget dari kayu (sendok untuk mengambil garam), kira-kira seukuran separuh batang rokok. Sembari membaca paragraf ini, saya ingin ajak Anda menyadari bahwa memPercayai bawah sadar Anda, maka bawah sadar Anda akan memberikan support yang luar biasa pada Anda.
Dengan cepat saya sambar sendok kecil itu, saya gerak-gerakkan seolah pesawat yang sedang terbang dan bergetar-getar. Seluruh pilihan kata dan gerakan yang saya pergunakan benar-benar dipilih untuk membuat Ibu itu berhenti menceritakan secara associated, dan meng ubah cara pandang sehingga merasa berada di luar pesawat dan sekarang lihat diri sendiri sedang berada di dalam pesawat itu disana.  Cara itu merupakan sudut pandang observer (meta position), bukan sudut pandang pelaku.
Melalui kalibrasi, akhinya kita sudah dapat melihat bahwa si Ibu sudah ter-desensitisasi, yakni tidak lagi menceritakan kejadian itu secara pelaku (associate), namun sudah menjadi observer (disassociate).
Alhamdulilllah!
Good marsigood, well mardowell, top markotop, sip markisip!
Sukses sudah dalam melakukan mark-out sendok itu sebagai pesawat. Selanjutnya segera saya melakukan break state dengan membicarakan menu makanan seraya menyingkirkan sendok itu sementara ke tempat tertentu yang tidak terlalu terlihat olehnya. Semua dilakukan seolah sambil lalu dan ngobrol-ngobrol saja.

Submodality Remap!
Sesuai dengan teknik conversational belief change, maka langkah berikutnya adalah meng-elicit emosi lain yang sifatnya rediculous (menggelikan). Yakni suatu emosi yang akan kita pakai untuk meng-collapsemosi takut tadi.  Emosi ini harus di-elicit dan diamplify dengan kuat, agar saat dilakukan remap(perpindahan, pertukaran map) antara map-takut-pesawat dengan map-menggelikan, maka map-menggelikan lah yang menang.
Melalui pancingan pertanyaan, sejurus kemudian si Ibu sudah sibuk bercerita dengan penuh tawa terpingkal-pingkal mengenai hal paling menggelikan dan lucu di dunia ini . Baginya hal yang paling lucu dan menggelikan adalah (maaf) bentuk mulutnya pelawak Dono Warkop (almarhum).
Dalam bahasa daerahnya, Ibu ini menyebutnya “moncong” si Dono Warkop. Rupanya ia penggemar berat warkop, dan Dono sudah sukses meng-anchor kelucuannya ke ibu ini. Setiap kali ibu ini melihat “moncong” Dono Warkop, ia terpingkal-pingkal. Lebih seru lagi, rupanya ia punya pengalaman pernah ketemu secara pribadi dengan Dono saat ia mengambil kuliah di suatu Perguruan Tinggi, yang menampilkan dosen tamu Dono Warkop. Ia sempat berbincang dengan Dono, dan kejadian itu sangat mengesankan dan lucu baginya. Benar-benar anchor alamiah!
Yesss!
Kata “moncong” segera saya catat di dalam hati sebagai peluang untuk diutilisasi nantinya sebagai “moncong pesawat”! Wow, memiliki kemiripan istilah yang luar biasa. Benar-benar suatu kebetulan yang harus dimanfaatkan.
Dengan semangat 45, saya menimpali kisah ibu itu, agar ia makin masuk dalam kondisi geli yang amatassociated. Rekan saya -yang Master Practitioner- rupanya melihat apa yang saya lakukan, dengan tangkas ia membantu meng-amplify pengalaman si Ibu ini sehingga semakin terpingkal-pingkal. Mudah dilihat bahwa kegeliannya sampai memicu menetesnya air mata. Di sini saya belajar dari attitude rekan saya, bahwa saat melihat teman yang sedang membantu seseorang, maka ayo ikutan segera membantu. Sungguh, lagi-lagi saya diingatkan bahwa pada diri siapapun, bisa dipelajari suatu sikap terpuji.
Tentu saja, seraya meng-amplify, maka rasa lucu ini segera saya mark-out ke benda lain di posisi lain dari sendok tadi. Saya pilih napkin untuk di mark-out sebagai ‘posisi lokasi’ rasa lucu menggelikan. Tes sedikit, ternyata berhasil. Akhirnya napkin yang saya letakkan di tengah meja itu sudah menjadi anchor untuk meng-elicit rasa gelinya.
Secepat kilat pada saat puncak kegelian, saya tiba-tiba mengangkat kembali sendok kecil -simbol pesawat- tadi itu. Kemudian sambil menerbangkannya, saya pindahkan letak pesawat itu di atas lokasi napkin. Seraya mengatakan “Akan seperti apa rasanya ya, saat ibu melihat dan merasakan guncangan pesawat, namun anehnya yang otomatis muncul adalah justru rasakan geli yang luar biasa karena teringat moncong Dono!. Huehehehehehehe!”
Lanjut saya “Nah lho… Semakin dibayangkan, semakin terasa geli lho. Hahahhaha”.
Sedetik sempat terlihat suatu ekspresi muka “bengong” di wajah ibu ini, dan saya cepat-cepat membuat tindakan yang membuat posisi napkin lebih jelas dari pada sendok. Sehingga bak collapsing anchor, yang kalah adalah sendoknya.
Rekan saya –si Master Practitioner-  pun mengambil peran dengan ikut terpingkal-pingkal, dan ia juga menimpali dengan kata-kata yang makin menguatkan efek geli ini. Kita tambahkan lagi: “Wahahaha, itu lho…  anehnya bahkan ketika berusaha mengingat rasa takut akan turbulensi itu, maka yang justru terjadi adalah kita semakin me rasakan geli bukan main. Sedemikian gelinya sehingga tidak bisa ingat lagi apa yang tadinya terjadi. Hanya rasa geli…, geli…li…. wkwkwkwkwkw!”
Ibu itupun lantas terbawa semakin tertawa geli lagi, terpingkal-pingkal. Dan kami bertiga saling nyerocos bergantian mengomentari betapa lucunya memBayangkan moncong pesawat sebagai moncong Dono. Mem bayangkan moncong pesawat ada giginya, ujung moncong pesawat yang “menggunung” itu mirip dengan mulut Dono yang “berusaha” menutupi gigi, sehingga menggunung pula.
Terlambat sudah, sudah terlambat bagi ibu itu untuk bisa membuang dari pikirannya bahwa bayangan mulut Dono adalah sama dengan moncong pesawat. Dan saat nanti mengalami proses guncangan pesawat, turbulensi, justru yang otomatis terjadi adalah rasa geli mem bayangkan mulut Dono yang menggunung, mucu-mucu, mau ditutup malah goyang-goyang. Wkwkwkwkwkwk, terkadung, terlanjur, telat… telaaaat…. sang pikiran bawah sadar sudah men terima asosiasi kedua hal itu, dan itu otomatis semakin menimbulkan rasa geli dan lucu yang tak tertahankan. Hahahahaha…
Ya ampuuuun lucu bukan main….
Tengah terpingakal-pingkal, datanglah pelayan membawa makanan. Maka proses break state terjadi secara alami. Syukurlah!
Tentunya Anda dengan cepat dapat melihat bahwa kalimat-kalimat yang diucapkan pada sang Ibu di atas, memiliki struktur gabungan kekuatan hypnotic language pattern yang sangat subtle dan powerful lho.  Bukan asal ngomong saja. Dan ini bertahan di bawah sadar Anda dengan mudah mengingat hal ini saat memerlukan. Saat ingin menolong orang lain yang seperti ibu tadi.

Seminggu Kemudian
Tanpa terasa sudah lebih dari seminggu semenjak peristiwa itu, dan saat teringat peristiwa itu saya tiba-tiba ingin menelpon sang ibu. Sayangnya nggak punya nomer HP-nya. Putar akal sedikit, saya meminta dari salah satu temannya, alhamdulillah akhirnya dapat!
Jawabannya yang saya terima sungguh melegakan, bahwa ia tidak mengalami rasa takut lagi untuk terbang. Bahkan ketika sempat terjadi efek turbulensi di atas pesawat, ia tetap tenang. Katanya “Moncong Dono, rupanya efektif untuk mengurangi rasa takut. Bahkan berjalan otomatis, Hahahaha”.
Conversational itu menyenangkan
Thanks to Dr. Richard Bandler, ia sering mengatakan bahwa membantu seseorang untuk berubah dengan menggunakan teknik NLP, dapat dilakukan secara cepat, secara menyenangkan, dan secara elegan.  Asyik ya!
Bahkan, terkadang yang dibantupun, tidak menyadari bahwa cara kita membantu adalah menggunakan struktur dan proses tertentu. Menggunakan pola bahasa tertentu dan tindakan (anchor) tertentu. Benar-benar dipikirnya cuman ngobrol, bahkan bercanda…
Kemampuan mengelicit suatu state, meng-amplify, dan meng-anchor merupakan ketrampilan-ketrampilan yang perlu dikuasai untuk menjadi piawai di bidang conversational. Bagaimana berlatihnya?
Anda bisa mulai dengan merancang kata-kata untuk mengelicit suatu respon, kemudian uji cobakan dengan teknik bercerita itu pada orang-orang di sekitar Anda. Tanpa orang itu tahu atas apa yang Anda lakukan.
Saya tidak tahu, kemungkinan Anda sudah menyadari bahwa tidak ada yang sulit sebenarnya untuk meng-elicit suatu respon. Mudah saja, yang penting Anda “go first”. Tentunya Anda pernah menceritakan pengalaman lucu yang Anda alami sendiri khan…? Sejalan dengan mengalirnya kata-kata saat Anda bercerita secara alami, tanpa terasa Anda “kembali” mengalami lagi, dan benar-benar masuk dalam perasaan lucu lagi. Hebatnya semua pendengar ikut terpingkal-pingkal. Nah, secara natural kita semua jago melakukan state elicitation kok.
Anda pernah menceritakan kisah bertema “kesedihan” khan? Seberapa mudah, pendengar Anda ikut menjadi sedih, pada saat Anda berkatarsis ria. Kuncinya adalah, tanpa Anda sadari sudah menggunakan pola bahasa yang membuat lawan bicara associated dengan kisah Anda. Bingo!
Nah,
Tentunya bagi yang belum belajarNLP di kelas Practitioner perlu bertanya pada kawan Anda yang pernah mengalami pelatihan tersebut. Bagaimana tepatnya proses belief change, dan bagaimana melatih secara conversational. Saat ini khan sudah banyak sekali Practitioner NLP.
Well…lumayan lho
Saya undang Anda untuk mengingat-ngingat bahwa sebagai mahluk sosial kita ini biasa dan senang membantu teman, nah akan seperti apa jadinya jika kita piawai membantu teman, tanpa ia merasa harus sedang “di terapi”. Tanpa ia merasa sedang dibantu… Wah, jadi lebih tulus ya…
Dengan membayangkan bahwa Anda bisa menolong banyak orang melalui teknik ini, Anda secara cepat akan memahami bahwa tidak terlalu sulit untuk menerapkan hal yang sama bagi anak-anak dan keluarga kita di rumah. Mereka biasanya tidak terlalu senang jika merasa diterapi, mereka lebih senang dan maunya ngobrol-ngobrol saja lho.
Ngomong-ngomong soal ngobrol-ngobrol, yang paling enak adalah kalau sedang ngobrol-ngobrol ya sambil makan Nasi Jenggo. BelajarNLP mungkin juga lebih enak kalau sambil makan nasi Jenggo ini. Entah kenapa disebut Jenggo, apakah plesetan dari bahasa China “Ceng Go” : Rp 1.500? Atau mungkin dalam bahasa Jawa “aJeng nambah mongGo!”, alias “Mau nambah? Silahkan..!”
Seseru apapun, makan nasi Jenggo tetap paling seru ya di pulau bali, pulau yang selalu membuat kita ingin    kembali pada ingatan kita akan pulau yang luar biasa eksotis, keindahan pasir pantai, dan budaya yang luar biasa. Ah, pulau Bali memang masih tetap mempesona.
(Teiriring do’a untuk almarhum Bung Dono Warkop, semoga beliau tenang dan damai, dan mendapatkan ampunan serta pahala berlimpah di alam sana…, Amien. Sebab, tak disangka-sangka…, warisan-warisan kelucuan beliau sudah mengurangi penderitaan, minimal seseorang).