Rabu, 29 Agustus 2012

Kesurupan.. Mistis atau Medis?


Fenomena kesurupan bukanlah hal yang asing lagi kita dengar. Masyarakat umum berpendapat fenomena kesurupan berhubungan dengan “kerasukan roh” ataupun hal-hal mistis lainnya. Secara medis, kasus kesurupan adalah fenomena kejiwaan semata. Kesurupan dalam istilah medisnya disebut dengan Dissociative Trance Disorder (DTD). Dalam PPDGJ III gangguan ini dimasukkan dalam kelompok “gangguan disosiasi”.

Apa Penyebabnya?


Peristiwa kesurupan masuk dalam kategori fenomena disosiasi atau sebuah reaksi yang mengakibatkan hilangnya kemampuan seseorang untuk menyadari realita di sekitarnya sehingga secara tidak disadari kepribadian si korban berubah.



Kesurupan merupakan salah suatu keadaan yang mencerminkan adanya gangguan jiwa. Menurut menteri kesehatan Siti Fadillah Supari, terdapat setidaknya 25% penduduk Indonesia yangmengalami gangguan jiwa. Terpicunya gangguan jiwa disebabkan oleh keadaan yang menekan mental.



Pada umumnya, hampir semua orang yang mengalami kesurupan memiliki riwayat depresi. Kesurupan merupakan salah satu tanda bahwa orang tersebut, sebenarnya, membutuhkan pertolongan secara psikologis.




Siapa Yang Dapat Kesurupan?



Kesurupan atau gangguan disosiasi umumnya menimpa mereka yang jiwanya labil ditambah kondisi yang membuatnya tertekan. Stres yang bertumpuk ditambah pemicu memungkinkan reaksi yang dikendalikan alam bawah sadar ini muncul ke permukaan. Kesurupan terjadi ketika penderita mengalami kecemasan hebat yang meluap tetapi ditekam ke alam bawah sadar, akibatnya terjadi gangguan disosiatif



Peristiwa kesurupan diyakini merupakan masalah psikis dari jiwa yang labil. Kebanyakan jiwa yang labil ini dimiliki oleh anak-anak, remaja dan wanita-wanita muda. Tak heran bila banyak kasus kesurupan menimpa mereka pada rentang usia ini.



Kesurupan massal paling banyak terjadi pada orang di bawah usia 20 tahun dan terjadi di institusi sekolah. Hal ini terjadi di Indonesia, di mana kesurupan massal terjadi di sekolah dan korbannya umumnya anak sekolah berusia remaja. kesurupan yang terjadi pada usia remaja, kemungkinan diakibatkan oleh depresi di saat kondisi kejiwaannya yang labil. Beban tugas dari sekolah yang sangat tinggi tentu mempengaruhi siswa secara psikis.
Selain itu, kesurupan atau gangguan disosiasi ini juga sering terjadi pada buruh pabrik wanita. Target produksi dan masalah hidup sehari-hari mungkin membuat para buruh wanita mengalami tekanan yang cukup berat. Meskipun tidak terlihat, kondisi ini terpendam dalam alam bawah sadar mereka.

Gejala

Gejala yang timbul dapat bervariasi. Orang yang terkena kesurupan dapat hanya tertawa dan mencoba menarik perhatian dengan perilaku sederhana seperti sendawa. Pada tahap ini, orang tersebut masih dapat disadarkan ke kenyataan. Pada tahap yang lebih parah, ia dapat mengalami kebingungan, amnesia dan tidak merasakan sakit, juga mengalami perubahan suara.




Kesurupan Masal
Lalu bagaimana dengan kesurupan massal? Bagaimana kesurupan bisa terjadi dan menular ke orang lain? Menurut medis, hal ini terkait dengan faktor sugesti. Orang yang memang jiwanya juga labil akan terpengaruh juga bila melihat seorang teman nya kesurupan. Ibaratnya kita dengar pidato, lalu ada yang tepuk tangan, tanpa disadari kita juga ikut tepuk tangan




Terapi
Masyarakat lebih mempercayai pengobatan kesurupan kepada paranormal. Bila ada kejadian kesurupan yang pertama mereka hubungi adalah “orang pintar” bukan dokter. Padahal kesurupan dapat dijelaskan secara ilmiah sehingga pemecahan masalahnya pun dapat dilakukan secara ilmiah pula. Penggunaan terapi dari psikiatri tetap diperlukan untuk mengembalikan kembali pasien pada keadaan sehat. Yang paling penting dalam menghadapi kejadian ini adalah jangan sampai semua orang panik, sebisa mungkin tetap tenang dan bawa korban ke tempat fasilitas kesehatan, diobati, dan disuruh tidur. Penanganan yang diberikan dapat berupa psikoterapi dan sedasi. Jadi secara medis biasanya pasien akan ditenangkan dahulu dan diberi obat tidur. Setelah kondisinya tenang maka pasien akan kembali normal.

Selasa, 31 Juli 2012

Bentuk-bentuk Reinkarnasi dan Kesudahannya

oleh Achmad Chodjim
Sebenarnya kepercayaan tentang adanya surga, neraka, padang mahsyar, dan hari perhitungan dengan meniti jembatan setipis rambut dibelah tujuh, merupakan kepercayaan yang telah berkembang di Timur Tengah jauh sebelum hadirnya agama Islam. Kepercayaan ini telah mengakar. Islam yang datang di kemudian hari menyerapnya sebagai bagian dari kepercayaannya. Tentu, hal ini lebih menonjol di dalam Hadis daripada di Alquran.
Meskipun kepercayaan itu telah berkembang di masyarakat Timur Tengah, namun masyarakat Quraisy (Mekah) –terutama para elitnya– lebih menekankan pada keyakinan hidup dan mati hanya sekali. Maka, akhirat yang ditawarkan oleh Nabi Muhammad saw mendapatkan sanggahan yang amat keras dari mereka. Keyakinan tentang kebangkitan, yaitu terciptanya kembali manusia seperti sedia kala (QS 18:48) ditolak mereka.
Diterimanya kepercayaan tentang akhirat, kiamat, surga dan neraka, telah mengesampingkan pandangan tentang reinkarnasi. Kelahiran kembali manusia di dunia ini dianggap mustahil bin mustahal. Semua ayat yang mengindikasikan adanya “kebangkitan” atau kelahiran kembali di dunia ini (QS 7:25) dipahami sebagai kebangkitan yang terjadi setelah dunia hancur lebur. Perhitungan tentang amal baik dan buruk dianggap ada setelah manusia dibangkitkan nanti.
Kiamat, surga dan neraka, telah menjadi “mind set”, menjadi suatu yang baku dalam pikiran umat Yahudi, Kristen, dan Islam. Seolah-olah tidak diperlukan penjelasan tentang hal-hal itu. Seolah-olah kiamat itu merupakan peristiwa hancurnya alam semesta sebelum dicanangkannya kehidupan baru di dalam surga atau neraka. Padahal, yang semacam inilah yang pada abad-abad awal perkembangan agama Islam, atau awal perkembangan agama Yahudi dan Kristen, telah memicu konflik kepercayaan. Dalam, agama Islam misalnya, terjadi debat tentang bayi yang mati dimasukkan ke dalam surga atau neraka. Tentang jika bayi mati langsung masuk surga, mengapa orang yang bakal menjadi durhaka tidak dimatikan sejak bayi. Dan lain-lain. Nah, akibatnya umat tidak diberi teladan untuk berbuat kebaikan, tapi disibukkan dengan pertikaian.
Manusia Lahir Kembali sebagai Manusia?
Reinkarnasi, atau dilahirkan kembali tidaklah bermakna tunggal. Ada yang beranggapan bahwa kelahiran kembali itu dapat berwujud sebagai apa saja tergantung amalnya. Dapat dilahirkan sebagai manusia atau binatang. Atau, mungkin menjadi tumbuhan. Namun, bagi para spiritualis generasi sekarang, umumnya mereka beranggapan bahwa reinkarnasi itu proses hidup dari manusia ke manusia. Artinya, sebagai manusia, setelah kematiannya pada babak berikutnya akan dilahirkan sebagai manusia lagi. Tentu, ia akan dilahirkan sebagai manusia yang menderita atau bahagia itu tergantung pada amal perbuatannya.
Mengapa, jika reinkarnasi itu sebagai kebenaran bisa bermakna ganda? Ya, kebenaran adalah kebenaran. Kebenaran adalah kenyataan sebagaimana adanya, tanpa campur tangan manusia. Tetapi, ketika kebenaran itu coba dipahami oleh beberapa orang, maka makna yang diperolehnya belum tentu sama. Karena, kebenaran itu sendiri memiliki banyak sisi dan manusia yang mencoba memahami itu tergantung pada pengalamannya.
Oleh karena penjelajahan dan eksplorasi terhadap kehidupan manusia itu masuk kajian misteri, yaitu berada di balik sesuatu yang me-“materi”; maka kajian terhadap reinkarnasi tidak dapat dilepaskan dari pegangan orang yang mencoba memahaminya. Saya, tentunya juga tidak lepas dari teks-teks ajaran agama yang saya peluk. Jadi, meskipun pada sudut globalnya, yaitu saya menerima reinkarnasi, tapi ada nuansa lain dalam memahaminya.
Apakah kita akan dilahirkan sebagai manusia? Kalau hal ini kita coba tanyakan kepada orang-orang yang menyelidiki reinkarnasi melalui meditasi yang mengeksplorasi pengalaman hidup di masa lalu, tentu jawabannya akan beragam. Bagi yang merasa pernah menjadi binatang, jawabannya pasti dalam hidup ini kita bisa dilahirkan sebagai binatang. Bagi yang dalam penglihatannya di dalam meditasi itu tidak pernah mengalami sebagai hewan tentu akan menjawab bahwa reinkarnasi itu dari manusia menjadi manusia. Dan, ini tentu saja tidak dapat diperdebatkan.
Tapi, dalam kehidupan ini ada orang-orang yang mampu menimba sebanyak-banyaknya pengalaman hidup yang pernah dilaluinya di masa lalu. Mereka itu adalah para nabi, avatar, utusan dan yang setingkatnya. Mereka mampu membabar dan membeberkan kebenaran masa silam menjadi kitab-kitab suci atau lembaran-lembaran suci.
Nah sekarang marilah kita perhatikan ayat berikut ini
QS al-Kahf [18]: 48.
Wa ‘uridhû ‘alâ rabbika shaffâ laqad ji’tumûnâ kamâ khalaqnâ kum awwala marrah bal za‘antum allan naj‘ala lakum maw‘ida
Dan, mereka akan dibawa kepada Tuhan dikau dengan berbaris. Sesungguhnya kalian akan datang kepada Kami sebagaimana Kami ciptakan kalian pertama kalinya. Bahkan kalian mengatakan bahwa Kami tidak akan menetapi perjanjian.
QS al-An‘âm [6]: 94,
Walaqad ji’tumûnâ furâdâ kamâ khalaqnâ kum awwala marrah wa taraktum mâ khawwalnâ kum warâa zhuhûri kum wa mâ narâ ma‘a kum syufa‘â kum alladzîna za‘amtum anna hum fî kum syurakâ’ laqad taqattha‘a bayna kum wa dhalla ‘an kum mâ kuntum taz‘umûn
Dan sesungguhnya kalian akan datang kepada Kami sendiri-sendiri sebagaimana Kami menciptakan kamu pada mulanya. Kalian telah meninggalkan pada generasi berikutnya apa yang telah Kami karuniakan kepada kalian. Dan, Kami tidak melihat pemberi syafaat yang kalian anggap sebagai sekutu Tuhan itu bersama kalian. Sungguh telah terputus dan lenyap antara kamu dengan apa yang kalian anggap sebagai sekutu Tuhan.
Dua ayat di atas sebenarnya menjelaskan tentang kelahiran kembali manusia di atas bumi ini. Agar lebih jelas pemahaman ayat itu, mari kita perhatikan secara seksama kedua ayat tersebut.
Pertama, ayat pada al-Kahf menjelaskan bahwa manusia akan hadir di Hadapan Tuhan dalam shaf-shaf, berbaris. Tentu ini tidak dapat diartikan seperti tentara yang melakukan baris-berbaris. Mengapa? Karena Tuhan itu tan kena kinaya ngapa. Tuhan tidak dapat dibayangkan seperti apa pun. Dus, berbaris di Hadapan Tuhan harus dipahami sebagai hadir mengikuti aturan bekerjanya alam. Atau, mengikuti mekanisme alam.
Bagaimanakah mekanismenya? Nah, baik pada Surah al-Kahf maupun Surah al-An‘âm, diterangkan bahwa manusia akan datang kepada “Kami” secara sendiri-sendiri sebagaimana “Kami” menciptakan pada mulanya. Ya, sengaja kata “Kami” saya tempatkan dalam tanda petik, dan tidak saya ganti dengan kata “Tuhan”. Ada perbedaan di antara keduanya. Kalau disebut kata “Tuhan” itu memang yang dimaksud adalah Tuhan itu sendiri. Yang ditonjolkan adalah kebesaran-Nya. Perhatikan kalimat “mereka akan dibawa kepada Tuhan”.
Apa artinya kalimat tersebut? Artinya, hidup dan mati ini tidak dapat dilepaskan dari Kehadiran Tuhan Semesta Alam. Inilah cara mendidik manusia untuk mengeliminasi egoismenya. Agar di dalam hidup ini kita sadar bahwa kita ini dalam perjalanan menuju kepada Dia. Kita hidup tidak main-main. Meskipun mekanisme hidup itu bagaikan permainan dan sandiwara. Jadi, kita harus membedakan antara “mekanisme” dan “tujuan” hidup di dunia fana ini.
Kedua, tujuan hidup adalah kembali kepada Tuhan. Tapi, ketika yang disebutkan mekanisme kembali kepada Tuhan, maka kata “Tuhan” disebut dengan kata “Kami”. Ini kata yang bermakna “jamak”, plural. Mengapa dalam penciptaan manusia tidak disebut kata “Saya”? Ya, karena Tuhan itu tan kena kinaya ngapa. Dalam penciptaan manusia, Tuhan tidak mencipta seperti sosok makhluk yang berkuasa. Ada berbagai unsur yang dilibatkan dalam penciptaan manusia. Selain kedua orangtua, unsur lingkungan juga ikut menentukan.
Hakikat dari hakikat memang Tuhanlah yang menjadi pencipta. Tapi, di alam nyata ini ternyata Tuhan tidak menciptakan manusia, hewan, tumbuhan dan lain-lainnya dengan cara “sim salabim”. Penciptaan makhluk hidup melalui mekanisme perkembangbiakan di alam. Dan, untuk manusia, perlu kehadiran orangtua dan ketersediaan unsur-unsur pembentuk jasad hidup manusia. Di antaranya kandungan sel sperma per mililiternya harus sekian ratus juta, meski yang dibutuhkan hanya satu sel sperma.
Ketiga, manusia datang kepada “Kami” sendiri-sendiri. Perhatikan dengan seksama mengapa bukan datang kepada “Aku”. Karena, “Aku” adalah pribadi. Perintah mengabdi atau menyembah kepada Tuhan disebut dengan menyembah kepada “Nya”, “Engkau”, atau “Aku”. Ungkapan ini benar-benar bermakna Tuhan sendiri. Tetapi, “penciptaan” dan “datang” dikaitkan dengan kata “Kami”. Artinya apa? Ini artinya, penciptaan oleh Tuhan itu melalui segenap kehadiran unsur yang dapat dilihat dan disaksikan melalui indra manusia. Nah, datang kepada-Nya pun melalui mekanisme alam yang dapat dilihat dan disaksikan.
Maka, pada kedua ayat tersebut dikatakan bahwa datang kepada Tuhan itusebagaimana Tuhan menciptakan pada mulanya. Inilah sistem penciptaan dan datang yang normal. Lahir sebagai manusia dan akan dilahirkan lagi sebagai manusia. Lahir sebagai bayi dan akan dibangkitkan (dikiamatkan) sebagai bayi. Inilah jalan untuk menjadi manusia sempurna. Karena, hanya dengan hadir sebagai manusia yang hidup manusia dapat meningkatkan amal baktinya dalam hidupnya.
Dengan proses semacam itu, Tuhan telah menetapi dan menepati janji-Nya, atau telah memenuhi perjanjian yang telah disetujui sang hamba seperti yang diungkapkan dalam QS al-A‘râf [7]: 172. Dengan proses lahir dan lahir lagi di bumi ini manusia diberi kesempatan untuk memperhatikan siapa dirinya dan bagaimana caranya untuk kembali kepada-Nya. Dengan lahir dan lahir berulang-ulang sebagai manusia, ia bisa meningkatkan kualitas dirinya untuk turut serta hamemayu hayuning bawana. Yaitu, sikap hidup untuk terus-menerus meningkatkan keindahan bumi yang diciptakan Tuhan dengan segenap kebaikannya. Maka, menurut konsep Jawa, insan kamil atau manusia sempurna adalah manusia yang dapat menjalankan AIU. Yaitu, aku ini urip, aku iki di-uripi lan ang-uripi. Dalam bahasa Indonesia, “saya ini hidup, semula dihidupi dan selanjutnya menghidupi”.
Dus, secara tata-cara alam, manusia sebenarnya makhluk yang sudah tumbuh menjadi sempurna. Dalam perjalanannya manusia berangkat sebagai makhluk sempurna untuk menjadi manusia sempurna, yaitu manusia yang mampu menjadikan dirinya “AIU”. Hanya manusia sempurnalah yang dapat kembali kepada Yang Maha Sempurna, yaitu Tuhan Yang Maha Esa. Dalam bahasa Alquran disebutkan bahwa manusia itu diciptakan dalam ujud (bukan wujud) yang terbaik daripada sebagian besar makhluk-Nya.
Keempat, manusia tidak sama dengan hewan. Bila hewan mati, maka ia tidak meninggalkan apa-apa –kecuali bangkai– kepada generasi berikutnya. Manusia memiliki nilai. Karena itu, manusia ingin mewariskan nilai itu kepada generasi berikutnya. Nah, nilai itu dapat berupa hal yang material maupun yang imaterial. Yang imaterial adalah ajaran-ajaran tentang budi luhur. Sedangkan yang material adalah harta benda yang dalam ayat di atas disebut karunia Tuhan yang ditinggalkan kepada generasi berikutnya.
Kecaman pedas ditujukan kepada orang yang landasan hidupnya hanya berupa material. Banyak orang yang berpikiran bahwa harta benda dapat menyelamatkan dirinya. Ternyata, harta benda itu terpaksa ditinggalkan ketika mereka mengalami kematian. Apa yang dirasakan sebagai syafaat atau penolong dalam hidup sebelumnya, ternyata telah putus. Lenyap. Tidak lagi berfungsi seperti sebelumnya. Mengapa? Sebab, bilamana pada masa hidup sebelumnya kaya dan hanya mengandalkan kekayaannya untuk kelangsungan hidupnya, maka boleh jadi ia sekarang hidup dalam kondisi yang sebaliknya yaitu menderita kemiskinan.
Dengan ayat-ayat tersebut sebenarnya manusia diingatkan untuk tidak terjebak dalam kehidupan material belaka. Material adalah sesuatu yang fana sifatnya. Material tidak dapat membantu dirinya dalam perjalanan hidup selanjutnya. Maka, apa yang perlu diwariskan? Tiada lain adalah budi luhur atau akhlak mulia. Maka, ajaran Nabi Muhammad yang paling pokok adalah memraktikkan hidup yang berakhlak mulia. Dalam Hadis disebut, innama buitstu li utammima makârim al-akhlâq, sesungguhnya saya dibangkitkan untuk memprioritaskan budi pekerti yang mulia. Alias, budi luhur.
Sayang, akhlak mulia alias budi luhur ini dilupakan oleh sebagian besar pemeluk agama. Ya, agama apa saja! Pemeluk agama umumnya dibawa ke hal-hal yang sifatnya semu. Hal-hal yang sifatnya untuk konsumsi politik dan ekonomik tokohnya. Kalau sudah demikian, meski manusia dilahirkan berkali-kali sebagai manusia, tapi tak ada peningkatan kualitas, bahkan kualitasnya amat buruk dan lebih buruk dari hewan.
Dalam kenyataan di lapangan kita bisa melihat manusia-manusia yang perilakunya seperti hewan. Dan, bahkan ada yang pernah ditayangkan di teve swasta seorang anak yang sudah berumur 12 tahun yang tetap tidak bisa berbicara ala manusia umumnya. Kalau toh bicara, maka bicaranya itu mirip dengan bunyi burung yang cruit, cruuiit, ceertt. Dan, makannya pun tidak selayaknya manusia. Bukan nasi, sayur dan lauk-pauk, tapi daun-daunan semata. Sehingga, orangtuanya senantiasa mencarikan ranting-ranting muda yang dipenuhi daun. Lahap sekali dalam memakan daun.
Bisakah Manusia Dilahirkan Kembali sebagai Binatang?
Sudah disebutkan bahwa mekanisme normal menyebabkan manusia tetap dilahirkan kembali sebagai manusia. Tapi, di alam senantiasa terjadi distorsi, atau penyimpangan kejadian. Kita ambil contoh kelamin manusia. Secara alami manusia itu diciptakan menjadi manusia yang berkelamin laki-laki dan yang berkelamin perempuan. Semua kitab suci menyebut demikian. Tetapi, faktanya ada penyimpangan. Saya beberapa kali mendengar ada anak yang dilahirkan memiliki kelamin ganda. Dan, di bulan Oktober 2004 ini saya melihat suatu acara liputan di siang hari tentang seorang anak yang berkelamin ganda. Diperlihatkan di teve tersebut secara normal yang tampak adalah “alat kelamin laki-laki”. Jadi, secara sepintas tidak ada tanda-tanda bahwa dia mempunyai kelainan kelamin. Pokoknya kelihatan utuh kelamin laki-laki. Tapi, ketika batang penisnya diangkat, maka ternyata buah pelirnya berupa vagina. Ya, vagina yang sama dengan yang dimiliki seorang perempuan. Seandainya penis itu dipotong, ya tinggal vaginanya.
Nah, secara faktual ada penyimpangan kelamin. Dan, penyimpangan itu tidak banyak. Secara statistik sebuah kebenaran pun hanya berada dalam selang kepercayaan. Artinya, kebenaran bukanlah sesuatu yang bulat seratus persen. Katakanlah sesuatu dianggap benar bila ada dalam jangkauan 95-99 persen benar. Tapi, ada yang menyimpang meskipun 1 persen atau kurang. Itu dapat diamati dalam kehidupan sehari-hari.
Jadi, jangan heran bilamana kita pun menyaksikan perilaku hewan yang dalam ungkapan Jawa dikenal dengan hewan yang kamanungsan. Artinya, secara lahiriah ia berupa hewan, tapi perilakunya seperti manusia layaknya. Ia punya pengertian. Sehingga, tidurnya pun minta bersama majikannya di atas kasur. Tidak mau minum air kotor dan hanya mau minum air yang bersih, dan perilaku manusia lain-lainnya. Ada fakta!
Bagaimana menurut kitab suci? Marilah kita periksa ayat-ayat dalam kitab suci Alquran.
Dan sesungguhnya telah kamu ketahui orang-orang yang melanggar di antaramu pada hari Sabbat, lalu Kami berfirman kepada mereka: “Jadilah kamu kera yang hina!” (QS 2:65)
Katakanlah: “Apakah akan aku beritakan kepadamu tentang orang-orang yang lebih buruk pembalasannya dari orang-orang fasik pada Sisi Allah, yaitu orang-orang yang dikutuki dan dimurkai Allah , di antara mereka ada yang dijadikan kera dan babi, dan penyembah tagut?” Mereka lebih buruk tempatnya dan lebih tersesat jalannya. (QS 5:60)
Maka, tatkala mereka bersikap sombong terhadap larangan yang ditetapkan kepada mereka, Kami katakan kepada mereka: “Jadilah kamu kera yang hina!” (QS 7:166)
Dan mereka berkata: “Apakah bila kami telah menjadi tulang-belulang dan sesuatu yang rusak, apa benar kami dibangkitkan menjadi makhluk yang baru?”
Katakanlah: “Jadilah kamu batu atau besi,
Atau suatu makhluk yang tidak mungkin menurut pikiranmu!” Mereka bertanya: “Siapa yang akan menghidupkan kami kembali?” Katakanlah: “Yang telah menciptakan kamu pada kali mulanya.” Lalu, mereka menggeleng-gelengkan kepala kepadamu dan berkata: “Kapan itu?” Jawablah: “Semoga itu terjadi dalam waktu dekat.” (QS 17: 49–51)
..Binasalah orang yang berlaku sewenang-wenang lagi keras kepala, di samping itu ada jahanam dan dia akan diberi minuman dengan air nanah. (QS 14: 15–16)
Cukuplah kiranya ayat-ayat yang menunjukkan adanya kejadian yang menyimpang dalam kehidupan di dunia ini. Perhatikan ayat-ayat tersebut dengan seksama tanpa melibatkan emosi. Jauhkan dari sikap apriori. Lalu, baca dengan logika.
Pertama, perhatikan kata “Kami” pada ayat-ayat tersebut. Jelas yang dimaksud di ayat itu adalah mekanisme alam. Tuhan semesta alam itu Maha Penyayang. Dia dalam Diri-Nya senantiasa kasih. Makanya, tidak dikatakan “Aku berfirman” atau “Aku menetapkan”. Alam semesta itu sendiri adalahfirman Tuhan. Lalu, “Kami berfirman” sebenarnya lebih ditujukan pada “Sabda Alam”. Ya, alam yang bersabda. Mungkin kita menyangkal bahwa ada alam koq dapat bersabda. Nah, kita lupakan bahwa diri kita ini bagian dari alam, tapi toh nyatanya kita dapat bersabda.
Orang yang melanggar Hari Sabbat atau Hari Keramat bagi pemeluk Yahudi disebut orang yang melanggar pantangan alam. Karena alam mereka rusak, makanya perbuatannya itu mengakibatkan mereka menjadi kera yang hina. Ya, sudah menjadi kera, tapi kera yang hina pula. Banyak yang menafsirkan bahwa mereka yang merusak Hari Sabbat itu perilakunya seperti kera. Apa yang lepas dari ayat tersebut? Jelas sekali bahwa sabda itu bukan untuk menjadikan “seperti” kera, tapi kera sebenarnya. Bahasa Arab memiliki kosa kata untuk “seperti” yaitu ka atau kamâ. Bacalah ayat terdahulu, di situ disebutkan “kamu datang kepada Kami sebagaimana…”. Dan lagi, kalau dijadikan “seperti” kera, ya tidak usah menunggu lagi, wong mereka itu sudah seperti kera koq. Pelanggar Hari Sabbat itu perilakunya sudah seperti kera yang tidak tahu aturan. Masakan mereka masih diperintah jadi seperti kera. Hal demikian tentu tidak akan menyadarkan mereka.
Coba periksa ayat QS 5: 60! Dijelaskan pada ayat tersebut bahwa apa yang mereka lakukan itu sudah lebih buruk daripada orang fasik. Makanya, balasan yang diperoleh pun lebih buruk daripada orang yang berbuat fasik atau menyimpang dari jalan yang benar.A Maka, perbuatan mereka yang amat buruk itulah yang mengakibatkan mereka ada yang bangkit kembali sebagai kera, babi, atau penyembah tagut. Ayat ini jelas sekali, karena ada pembeda yang jelas antara hewan dan penyembah tagut. Kalau dilahirkan sebagai penyembah tagut, itu artinya dilahirkan sebagai manusia. Tapi, ia menjadi manusia yang melampaui batas-batas kehidupan itu sendiri. Atau, dengan kata lain ia menjadi manusia yang hidupnya hanya memperturutkan hawa nafsunya semata.
Entah menjadi kera, babi, atau penyembah tagut; menurut ayat tersebut mereka dikategorikan sebagai makhluk yang posisi kehidupannya lebih buruk daripada rata-rata orang, dan tidak tahu lagi jalan yang benar. Coba perhatikan! Menjadi hewan pun bukanlah hewan normal yang perilakunya berdasarkan perikehewanan. Artinya, secara wujud hewan, tapi perilakunya lebih buruk daripada hewan. Apa ada? Ya, coba saja amati hewan-hewan yang ada di sekitar kita. Kalau masih sulit membayangkan bagaimana beda kera atau babi asli dengan yang perwujudan dari manusia, ya perhatikanlah anjing yang hidup di sekitar kita.
Maka, kalau kita amati anjing, kita akan tahu perilaku anjing pada umumnya. Tapi, ada yang benar-benar kamanungsan. Ada pula yang amat jahat terhadap manusia, dan tak pernah mengerti majikan. Ia malah memilih hidup liar, dan makannya pun hanya mengandalkan sampah. Dan, ada anjing yang menjadi gila yang disebut “anjing gila”. Nah, kalau perusak kehidupan itu lahir sebagai babi atau kera, tentunya bukan babi atau kera yang disebut kamanungsan, tapi babi atau kera yang hina sebagaimana dinyatakan pada QS 2: 65 dan 7: 166. Makanya, babi dan kera yang dimaksud disetarakan dengan kehidupan para penyembah tagut.
Kedua, ada lagi yang lebih buruk daripada menjadi kera, babi atau penyembah tagut. Yaitu pada dua kelompok ayat berikutnya. Perusak kehidupan tidak dibangkitkan sebagai manusia atau binatang, tapi menjadi batu atau besi, atau makhluk yang berada di luar jangkauan pikiran.
Tidak menjadi hewan atau manusia. Artinya apa? Orang yang tidak lagi dapat dilahirkan berjasad fisik. Ini berarti cuma menjadi hantu gentayangan. Ia tersesat jalan yang amat parah. Sehingga, tidak tahu lagi kalau setiap hari ada proses penciptaan badan wadag manusia. Frekuensi energinya tidak mampu mengendus calon jabang bayi. Mereka akhirnya memilih tinggal di batu-batuan, rongsokan logam, atau benda lainnya.
Ia menjadi hantu gentayangan. Karena asal-usulnya dari manusia maka ia tetap menganggu manusia. Tentu manusia yang diganggunya itu tatkala getaran frekuensi energinya di ambang bawah. Oleh sang dukun hantu diusir-usir. Kalau ada orang baik dengan sendirinya terusir. Inilah yang disebut “tidak mengetahui jalan atau amat tersesat”.
*****
Reinkarnasi secara normal adalah manusia yang dilahirkan kembali sebagai manusia. Hanya saja ada manusia yang kelakuannya seperti hewan. Dan, ada pula yang hanya memperturutkan hawa nafsunya belaka. Tapi, sebagai akibat hukum penyimpangan, maka ada yang dilahirkan dalam wujud hewan, ternak, atau hewan piaraan. Tapi, hal ini sekali lagi hanya penyimpangan di alam. Mengapa bisa menyimpang? Ya, karena yang menjadi hewan itu hidup di jalan kehidupan yang amat dekat dengan jalan hidupnya hewan. Kalau tidak ingin terlanda banjir, ya jangan hidup di pinggir sungai. Kalau tidak ingin terbakar, ya jangan main-main api.
Nah, yang lebih celaka adalah tidak dapat dilahirkan sebagai makhluk hidup. Ia benar-benar tersesat yang kelewat batas. Ia tidak tahu caranya masuk ke dalam jabang bayi. Maka ia tetap di alam kehidupan yang tanpa badan wadag. Ia hanya bisa gentayangan.
Bagaimana Kesudahan Perjalanan Manusia?
Ketika air menjadi es, cairan, atau pun uap air, maka sebenarnya ia tetap air. Tidak lebih dan tidak kurang. Yang berubah-ubah hanya wujudnya. Hakikatnya ia tetap air. Di atas suhu 4 derajat, es akan menjadi air. Uap air yang mengumpul di angkasa jika faktor-faktor pembentuk hujan ada, maka uap itu akan turun ke bumi sebagai air.
Selama manusia hidup sebagai badan wadag atau hidup di alam astral, maka manusia tidak akan pernah kembali kepada Tuhan. Dalam jangka pendek atau dalam jangka panjang, ia akan mengalami siklus hidup sebagai manusia di bumi ini atau di planet lain. Dalam sebuah buku yang ditulis oleh Sayyid Hasan Abthahy (orang Iran), dikisahkan di dalamnya bahwa Carnes yang masih hidup berhubungan dengan Jiwa Louman yaitu temannya yang sudah meninggal. Carnes menanyakan di mana Louman sekarang tinggal. Menurut Louman dia tinggal di sebuah planet kepela dan jaraknya dari bumi adalah 71 tahun cahaya. Itulah sekilas cuplikan bahwa siklus hidup itu tidak hanya di planet bumi saja.
Manusia terus-menerus bisa meningkatkan dirinya menuju planet yang semakin indah. Hal ini dikabarkan dalam QS 39: 20, “Tetapi orang-orang yang bertakwa kepada Tuhan mereka mendapat tempat-tempat yang tinggi, di atasnya dibangun pula tempat-tempat yang tinggi yang di bawahnya mengalir sungai-sungai….
Namun demikian, ada pula yang dalam perjalanan hidupnya sudah melampaui dunia fisik di mana pun berada. Itulah orang-orang yang benar-benar kembali kepada-Nya.[]
Salam,
A.Chodjim

REINKARNASI DALAM ISLAM

Kata “reinkarnasi” asalnya dari kata re+in+carnis. Kata Latin carnis berarti daging. Incarnis artinya mempunyai bentuk manusia. Sedangkan reinkarnasi adalah masuknya jiwa ke dalam tubuh yang baru. Jadi, jiwanya adalah jiwa yang sudah ada, tapi jasadnya baru. Maka, reinkarnasi juga dapat disebut kelahiran kembali. Kondisi ini disebut pula sebagai migrasi jiwa. Artinya, jasad lama ditinggalkan alias mati, dan pada suatu kesempatan jiwa tersebut masuk ke dalam jasad baru, alias menjadi bayi kembali. Dalam bahasa Inggris reinkarnasi disebut sebagai reborn atau reembodiment.

Bagi agama-agama di Timur, agama-agama yang tumbuh di India, Tibet, Cina, Jepang, dan di Kepulauan Nusantara; reinkarnasi bukan lagi sebagai hal yang aneh. Reinkarnasi bukan dipahami sebagai kepercayaan atau keimanan, tapi sebagai hukum alam.

Bagaimana dengan reinkarnasi di Dunia Barat? Sumber dasar filsafat Barat adalah budaya Yunani dan Romawi. Pada kedua budaya tersebut, reinkarnasi diterima sebagai kepercayaan. Di antara filsuf Yunani kuno, Plato yang hidup pada abad ke 5–4 seb. M, percaya bahwa jiwa tidak pernah mati, dan mengalami reinkarnasi berkali-kali. Lalu, kapan reinkarnasi itu berakhir? Ya, segala sesuatu pasti berakhir. Menurut agama Hindu, reinkarnasi berakhir bila sang manusia mengalami moksa. Menurut agama Buddha kelahiran kembali tak akan terjadi lagi bila roda samsara telah berhenti. Sang Jiwa selanjutnya ke alam nirwana.

Tujuan Hidup dan Mati Menurut Ayat-ayat Alquran

Sebagai seorang muslim tentu saya akan menguraikan reinkarnasi ini berdasarkan dalil-dalil Alquran dan Hadis. Dan, dalil-dalil ini tergolong ayat-ayat mutasyabihat. Ayat-ayat yang perlu dipahami maknanya dengan seksama. Oleh kalangan awam ayat-ayat ini biasanya dilepas begitu saja, dan tidak ada usaha memahaminya. Padahal, Alquran telah memerintahkan pembacanya untuk menggunakan akal atau pikiran untuk dapat mengerti makna yang tersembunyi dibalik makna literalnya.

Marilah kita simak ayat QS al-Mulk [67]: 2.

Alladzî khalaqa al-mawta wa al-hayâta li yabluwakum ayyukum ahsanu ‘amalâ wa huwa al-‘azîz al-ghafûr.

"Dia yang menciptakan kematian dan kehidupan. Dengan cara itu Dia mendidik dan melatihmu, dan untuk memberikan nilai bagi siapa yang lebih baik amalannya. Dan, Dia itu Maha Perkasa dan Maha Melindungi."

Pertama, mati dan hidup itu diciptakan. Hal semacam ini sering luput dari pemahaman. Dikiranya, yang diciptakan Tuhan itu hanya hidup. Mati ada di dalam wilayah ciptaan Tuhan. Demikian pula hidup. Tentu saja yang dimaksud di sini bukanlah “hidup sejati”. Tapi, hidup di dalam jasad. Jadi, hidup di dalam jasad, dan mati jasad itu ciptaan.

Jasad atau raga hanyalah pakaian bagi “jiwa”, soul. Jika raga tidak bisa dipakai alias tidak berfungsi, maka jiwa akan meninggalkannya. Tetapi, jika jiwa hanya sekadar meninggalkan jasad, belum tentu jasad mengalami kematian. Dalam peristiwa OOBE (Out Of the Body Experience), jiwa dapat keluar tubuh dan kembali lagi. Tidur nyenyak pun dapat membuat jiwa ke luar dari tubuh untuk beranjang sana-sini. Hal semacam ini dijelaskan dalam QS al-Zumar [39]: 42, sebagai berikut.

"Allah yang memegang jiwa manusia ketika matinya dan di waktu tidur bagi yang belum mati. Dan, ditahan-Nya jiwa yang telah ditetapkan kematiannya, sedangkan yang belum mati dilepaskan hingga masa ajal tiba. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat ayat-ayat bagi orang yang berpikir."

Selama garis kematian belum tiba, jiwa dapat bepergian kesana-kemari. Menurut mistik Timur, jiwa dan raga ini ada tali pengikat yang disebut benang perak atau silver cord. Selama benang ini tidak putus, maka orang yang mengalami OOBE tidak akan tertimpa kematian.

Bila dilihat dari sudut energi, orang yang mengalami mati itu telah kehilangan energi prana, elan vital, atau premananya (Jawa). Baik benang perak atau premana tidak perlu dipertentangkan. Keduanya merupakan elemen kehidupan. Jika salah satunya rusak, orangnya akan mati. Artinya, bilamana elemen-elemen yang membangun hidup itu rusak alias tidak berfungsi, jiwa tak akan dapat beroperasi lagi. Jiwa akan meninggalkan tubuh yang demikian itu.

Kedua, penciptaan mati dan hidup itu dimaksudkan untuk mendidik dan melatih manusia agar manusia dapat beramal kebajikan. Jadi, jelas sekali bahwa proses mati-hidup-mati-hidup di dunia ini dimaksudkan untuk melatih manusia. Dunia ini sekolahan. Dunia adalah ladang bagi kehidupan berikutnya (Hadis). Siapa yang menanam, ia pula yang mengetam. Dan, dalam QS 51:56 disebutkan bahwa tujuan penciptaan manusia itu adalah ma’rifat Allah, mengenal Allah. Untuk apa? Agar manusia dapat kembali ke asalnya, yaitu kembali kepada Allah.

Seringkali balasan amal itu dipahami sebagai balasan atau imbalan yang akan diberikan kepada manusia setelah dibangkitkan dari kuburnya di alam akhirat setelah hancur-leburnya bumi. Hal ini tentu saja tidak sesuai dengan pernyataan-pernyataan tentang cepatnya perhitungan Tuhan terhadap para hamban-Nya. Lebih dari 10 ayat yang menyatakan bahwa hisab Tuhan atau perhitungan amal baik dan buruk manusia itu amat cepat. Kalau hukuman itu ditangguhkan hingga hari kiamat atau setelah hancurnya alam semesta, maka ada orang yang sudah jutaan tahun dalam masa menunggu, dan bagi yang hidup menjelang hancurnya alam semesta malah akan menerimanya lebih cepat. Tentu, hal ini akan bertentangan dengan kasih sayang Tuhan, sekaligus bertentangan dengan keadilan-Nya.

Balasan dan imbalan dari Tuhan terhadap amalan manusia itu amat cepat alias segera. Dan, perhitungan itu tidak sperti nilai rapor. Apabila nilai rapor sudah diperhitungkan nilai plus-minusnya, sehingga seseorang tinggal terima jadi, apakah ia naik kelas atau tinggal kelas; tidak demikian dengan perhitungan Tuhan. Dalam QS al-Zalzalah [99]:7–8disebutkan sebagai berikut:

Faman ya‘mal mitsqâla dzarrah khayran yarâh.

Wa man ya‘mal mitsqâla dzarrah syarran yarâh.

"Barangsiapa yang beramal kebajikan sebesar zarah, maka buah amalnya itu akan dilihatnya.

Dan, barangsiapa berbuat keburukan sebesar zarah, maka balasan amal buruknya itu pun akan dilihatnya."

Jadi, tidak ada perhitungan dengan sistem yang dapat mencapai angka 6 atau lebih akan naik kelas atau akan tinggal di surga, dan yang tidak dapat angka indeks prestasi itu akan tinggal di neraka. Tidak. Tidak demikian! Bahkan bagi yang beramal keburukan sekecil debu pun akan merasakan balasannya. Sebaliknya, yang beramal kebaikan sekecil zarah pun akan merasakannya pula.

Balasan Tuhan itu amat cepat. Dalam bahasa Arab disebut sarî‘ al-hisâb. Balasan yang cepat artinya suatu balasan yang dapat diamati di dunia ini. Dan, sistem perhitungannya pun sebagaimana dikemukakan pada ayat-ayat di Surah al-Zalzalah tersebut. Itu artinya balasan atau imbalan itu berlangsung di dunia ini. Caranya melalui kelahiran kembali. Hal ini disebut dalam QS 6:94, bahwa manusia datang sendiri-sendiri sebagaimana kejadian pada mulanya. Dan, mengenai penciptaan pada kali yang lain ini akan jelas sekali diterangkan dalam QS 29: 19–21 sebagai berikut.

"Dan, apakah mereka tidak memperhatikan bagaimana Allah menciptakan pada awalnya dan mengulanginya. Sesungguhnya yang demikian itu mudah bagi Allah."

"Katakanlah: “Berjalanlah di bumi, maka gunakan nalarmu untuk memahami bagaimana Allah menciptakan pada mulanya, kemudian menciptakannya pada kali yang lain. Sesungguhnya Allah Mahakuasa atas segala sesuatu."

"Allah mengazab orang yang menghendaki (azab) dan memberikan rahmat kepada yang menghendakinya. Dan, hanya kepada-Nya kamu dikembali-kan."

Perhatikan dengan seksama ayat tersebut. Pada ayat yang pertama, isi perintah-Nya adalah memperhatikan cara Allah menciptakan manusia. Ya, yang perlu diperhatikan adalah cara Allah menciptakan manusia pada mulanya. Bagaimana? Ternyata, caranya melalui pertemuan sel telur pada wanita dan sel sperma dari pria. Kemudian, keduanya bersatu, membelah diri, dan akhirnya tumbuh menjadi janin di dalam perut ibu. Lalu, lahir ke bumi sesuai dengan garis nasibnya. Ada yang dilahirkan di tengah orang berada, dan ada yang dilahirkan melalui keluarga papa.

Setelah paham tentang penciptaan pada pertamanya, maka kita diminta memperhatikan caranya Allah mengulangi penciptaan itu. Kita diperintah untuk memperhatikan pada penciptaan ulangan, agar kita ngeh, kita paham benar-benar bagaimana proses penciptaan manusia.

Ayat yang kedua, memerintah kita untuk menjelajah bumi ini. Kita diperintah untuk melakukan study tour, atau widya wisata. Untuk apa? Untuk mengerti tentang bagaimana Allah menciptakan pada mulanya, dan menciptakan pada kali lainnya. Coba renungkan dalam-dalam! Seandainya penciptaan pada kali lain itu terjadi setelah dunia ini hancur lebur, ya akan menjadi perintah yang salah. Mengapa? Karena penyelidikan penciptaan itu cukup di bumi ini, baik penciptaan pada mulanya maupun pada kali yang lain. Itu artinya kebangkitan itu di bumi ini. Yaitu, berupa kelahiran kembali. Ya, lahir kembali adalah penciptaan pada kali yang lain. Kalau bumi sudah hancur, maka kita tidak akan dapat melakukan studi tentang kebangkitan. Kita tidak dapat memperoleh pemahaman tentang itu.

Nah, pada penciptaan kali yang lain itulah seorang manusia yang dilahirkan menerima azab atau mendapat rahmat. Azab atau rahmat yang diterimanya itu berdasarkan kehendak orang yang dilahirkan kembali. Jadi, bukan karena kehendak Tuhan. Mengapa? Karena Tuhan sama sekali tidak merugikan hamba-Nya. Dalam QS 3:117 disebutkan bahwa Allah tidak menganiaya mereka, tetapi mereka yang menganiaya diri mereka sendiri. Sedangkan dalam QS 10:44 disebutkan bahwa, “Sesungguhnya Allah tidak menzalimi manusia sedikit pun, akan tetapi manusia sendiri yang berbuat zalim terhadap dirinya sendiri.”

Jelas sudah, bahwa bukan Allah yang menghendaki azab bagi manusia. Allah hanyalah menjalankan roda hukum alam yang telah ditetapkan-Nya. Sedangkan manusia itu sendiri adalah bagian dari hukum alam yang telah ditetapkan Tuhan. Karena hukum alam berjalan di bawah kehendak Tuhan, maka seakan-akan pahala dan balasan itu atas Kehendak-Nya. Sayang sekali, dalam berbagai terjemahan, kata man yasyâ’ diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia Allah menghendaki. Tentu saja terjemahan demikian melanggar pernyataan Allah bahwa Dia tidak merugikan manusia sedikit pun.

Apabila kita memahami bahwa Allah tidak merugikan manusia sedikit pun, lalu siapa yang membuat ada yang bernasib baik, dan ada yang bernasib buruk? Lalu, mengapa ada orang yang mulus hidupnya dan ada yang tidak luput dari bencana? Apa ada garis tangan seseorang?

Jawabnya, semua itu akibat ulah dan perbuatan orang yang tertimpa bencana itu sendiri. Kalau seseorang bernasib baik maka itu akibat amal kebajikan orang itu sendiri. Amalan kapan? Yaitu, amal baik dan buruk yang pernah dikerjakan pada kehidupan yang lampau. Jadi, takdir baik dan buruk itu digoreskan oleh seseorang pada masa lampaunya. Jika takdir baik dan buruk itu ditetapkan oleh Tuhan di zaman azali, maka itu artinya Tuhan telah berbuat zalim bagi sebagian hamba-Nya. Jika sudah demikian, berarti Tuhan telah pilih kasih terhadap hamba-Nya. Padahal, Tuhan tidak merugikan sedikit pun kepada manusia. Maka, jelas Tuhan tidak menetapkan takdir sebagaimana yang dipahami oleh sebagian besar umat Islam hingga sekarang ini. Maka, kita sekarang ini bukanlah kita yang baru dicipta. Tapi, kita sekarang ini adalah manusia yang telah lahir beberapa kali, bahkan ratusan atau bahkan ribuan kali.

Mengenai petaka atau bencana yang menimpa manusia di bumi ini, dapat dirujuk pada ayat-ayat berikut. Perhatikan dengan seksama dua ayat di bawah ini.

"Dan, musibah apa pun yang menimpamu, maka itu disebabkan oleh tindakanmu sendiri, dan Allah mengampuni sebagian besar kesalahanmu."

"Dan, kalian tidak dapat melepaskan diri dari bumi ini. Bagimu, tiada pelindung dan penolong selain Allah." (QS 42: 30-31)

Apa saja jenis musibah atau bencana yang menimpa seseorang, ternyata itu akibat perbuatan tangannya sendiri. Bukan oleh orang lain. Bukan oleh Tuhan. Bukan oleh setan dan jin. Ternyata semua itu disebabkan oleh ulah yang tertimpa musibah itu. Termasuk kalau ada bayi yang dilahirkan cacat. Itu disebabkan oleh perbuatan jiwa si bayi tersebut.

Banyak orang yang tidak memahami tentang kelahiran kembali. Atau, reinkarnasi. Sehingga, kalau ada bayi cacat maka itu dianggap oleh kondisi kesehatan orangtuanya. Misalnya, ada kerusakan genetis. Penyakit dalam kandungan. Oleh sebab-sebab lain. Atau, karena dalam peperangan si bayi terkena peluru nyasar sehingga meski terselamatkan ia kehilangan anggota badannya. Umumnya orang tidak mengerti bahwa itu disebabkan oleh hutang-piutang karma atau perbuatan.

Memang, ada proses karma. Pertama si orangtua mempunyai karma negatif, atau karma buruk. Sehingga ketika dia mengandung, janin yang dikandungnya itu cacat. Jadi, yang cacat itu raga si bayi. Sedangkan raga itu sendiri ya tidak ada maknanya. Nah, ketika raga bayi itu cacat, maka jiwa yang dimasukkan ke dalam raga yang cacat itu adalah jiwa yang hutang karma. Jiwa yang pada kehidupan masa lalunya banyak berbuat keburukan. Dus, bayi yang dilahirkan cacat itu merupakan kaitan karma orangtua dan bayi tersebut. Sama-sama punya karma buruk pada kehidupan masa lalunya. Meskipun hal ini tidak berarti ada kaitan karma buruk antara orangtua dan si bayi pada kehidupan lalunya.

Kembali kepada ayat di atas. Disebutkan bahwa Tuhan mengampuni sebagian besar kesalahan manusia. Apa kaitannya dengan reinkarnasi? Jika Tuhan tidak mengampuni sebagian besar kesalahan manusia, maka manusia tidak akan mengalami kemajuan dalam hidupnya. Bayangkan, jika hutang seratus unit harus dibayar 100 unit; apa yang terjadi? Tak ada perubahan di dalam kehidupan manusia. Tuhan itu Maha Pemaaf. Sehingga, Tuhan tak akan mewujudkan balasan lebih daripada keburukan yang pernah dibuat hamba-Nya. Tuhan bukanlah tukang balas. Namun, kita pun harus paham bahwa mekanisme sebab-akibat itu merupakan ketetapan-Nya.

Dalam bahasa agama, cara kerja alam raya dalam kaitannya dengan sebab dan akibat disebut pemberian pahala untuk kebaikan dan pembalasan atau azab bagi kejahatan. Karena rahman dan rahim-Nya, kebaikan akan mendatangkan kebaikan berlipat ganda, tapi keburukan hanya mengakibat-kan keburukan yang setara atau kurang. Dalam bahasa psikologis alam raya itu bersifat memaafkan. Hal semacam inilah yang disebut dalam Alquran sebagai kebajikan Tuhan. Dia memaafkan sebagian besar kesalahan yang pernah dilakukan manusia.

Pada QS 42: 31, terdapat peringatan dari Tuhan. Apa isinya? Secara normal, manusia tidak akan dapat meninggalkan bumi ini. Salah satu unsur pembentuk fisik manusia adalah bumi. Maka, secara alami manusia tertarik oleh keindahan bumi. Dan, gaya tarik bumi terhadap unsur-unsur fisik manusia, yaitu bumi, air, api dan udara, sangat kuat. Sehingga manusia cenderung untuk kembali hidup di bumi. Hal semacam ini dikabarkan dalam QS 7:25, bahwa manusia dihidupkan oleh Tuhan di bumi, dimatikan di bumi dan dibangkitkan di bumi juga.

Dus, jikalau manusia hanya mengikuti hukum alam, tidak ada aksi dari manusianya sendiri untuk melepaskan diri dari bumi, maka selamanya ia akan tinggal di bumi. Sehingga, kenikmatan surga pun sebatas kenikmatan yang tersedia di bumi ini. Maka, pada penutup ayat 31 disebutkan bahwa bagi manusia tak ada pelindung dan penolongnya selain Allah. Dengan kata lain, pelindung dan penolong manusia itu hanyalah Allah!

Kata “Allah” dalam Alquran adalah sebutan bagi Tuhan semesta alam. Maka, bagi yang bukan orang Islam tidak perlu rancu terhadap sebeutan Tuhan. Bahkan di Alquran sendiri Tuhan dapat disebut berdasarkan Nama-nama baik-Nya (QS 17: 110). Bagi khazanah “New Age”, Tuhan disebut sebagai “Sang Maha Diri”, the Absolute Reality atau Absolute Self. Sedang-kan diri manusia ya “sang diri” atau diri sejati saja. Maka, tujuan hidup manusia adalah kembalinya “sang diri” kepada “Sang Maha Diri”.

Perjalanan sang diri kepada Tuhannya dalam hitungan waktu fisik amatlah panjang. Manusia yang sudah terkungkung oleh ruang-waktu, harus menempuhnya dalam hitungan jutaan tahun bumi. Jika satu generasi perlu hadir selama 50–100 tahun, maka perlu puluhan hingga ribuan kali manusia dapat menyempurnakan dirinya. Dengan kata lain, untuk dapat kembali ke alam kelanggengan atau paling tidak keluar dari bumi manusia perlu dilahir-kan berkali-kali. Manusia perlu mengikuti kala-cakra, atau putaran roda kehidupan di bumi.

Untuk kembali kepada-Nya, ya hanya dengan cara berlindung kepda-Nya semata. Jika kita masih berlindung kepada yang lain, kepada selain-Nya yang notabene hamba-Nya, maka kita pasti menderita di bumi ini. Makanya, semua agama yang ada memerintahkan manusia untuk berlindung dan mohon pertolongan kepada-Nya semata. Inilah yang disebut tauhid dalam agama Islam. Meng-Esa-kan Tuhan.

Musibah atau bencana di bumi sebenarnya merupakan pelajaran agar manusia dapat menyadari kesalahannya dan kembali kepada jalan Tuhan. Namanya saja kembali kepada-Nya, maka jalan yang harus ditempuh pun jalan-Nya yang disebut shirâth al-mustaqîm, jalan lurus. Yaitu, jalan untuk hamemayu hayuning bawana dan tidak menghambakan diri kepada yang selain-Nya.

Perhatikan QS al-Rûm [30]: 41 – 45 sebagai berikut.

"Telah tampak kerusakan di darat dan di laut akibat perbuatan manusia. Allah bermaksud untuk membuat mereka itu merasakan sebagian akibat perbuatan mereka agar mereka dapat kembali (kepada jalan-Nya)."

"Katakanlah: “Lakukan perjalanan di bumi dan perhatikan bagaimana akibat perbuatan orang-orang sebelummu. Sebagian besar mereka itu merupakan orang-orang yang mempersekutukan Tuhan.”

"Oleh karena itu, hadapkanlah dirimu kepada agama yang lurus sebelum datangnya hari dari Allah yang tidak dapat ditolak. Pada hari itu mereka terpisah-pisah."

"Barangsiapa yang kafir maka ia sendiri yang menanggung kekafirannya, dan bagi yang beramal saleh maka buah kebaikannya untuk dirinya sendiri."

"Allah melimpahkan karunia-Nya kepada orang-orang yang beriman dan beramal saleh. Sesungguhnya Dia tidak mencintai orang-orang yang mengingkari-Nya."

Pertama, ketika ayat ini diturunkan, daratan dan laut telah mengalami kerusakan. Apalagi sekarang! Dan, dinyatakan dengan tegas bahwa kerusa-kan itu akibat perbuatan manusia. Bukan disebabkan oleh perilaku hewan. Artinya, potensi kerusakan itu berasal dari manusia. Ya, akibat ulah manusia rusaklah daratan dan laut. Ternyata, kerusakan di darat dan laut itu dibiarkan oleh Allah agar manusia (yang melakukan kerusakan itu) merasakan seba-gian dari akibat perbuatannya. Untuk apa? Agar yang pernah melakukan kerusakan itu mendapat pelajaran untuk kembali kepada jalan yang benar. Ya, kembali kepada jalan-Nya.

Jadi, yang merasakan akibat perbuatannya itu ya yang pernah hidup pada masa lampau dan berbuat kerusakan. Bukan orang yang pertama kali dilahirkan di bumi ini. Bukankah Tuhan telah menyatakan bahwa Dia tidak merugikan manusia sedikit pun? Tidak mungkin manusia yang tidak berbuat kesalahan dikenakan azab. Dan, karena kasih-sayang Tuhan pula manusia yang dihidupkan lagi itu merasakan sebagian saja dari akibat perbuatannya. Manusia tidak merasakan seluruh akibat perbuatan buruknya. Hal semacam inilah yang disebutkan pada ayat lain bahwa Tuhan itu memaafkan sebagian besar kesalahan manusia.

Kedua, lagi-lagi kita diperintah Tuhan untuk melakukan perjalanan di muka bumi ini. Tapi, pada ayat ini kita diperintah untuk memperhatikan akibat perbuatan buruk orang-orang yang hidup pada masa lalu. Apa kata ayat tersebut? Banyaknya kerusakan di darat dan laut itu ternyata dilakukan oleh orang-orang musyrik. Orang-orang yang menyekutukan Tuhan. Dus, orang yang menyekutukan Tuhan itu adalah orang yang membuat kerusakan di bumi ini. Jelas kan, bahwa mereka bukanlah orang yang beribadah di depan patung?

Jelas, bahwa kemusyrikan itu lebih terkait dengan amal perbuatan manusia. Jika amalan itu merusak bumi, maka itu tindakan syirik. Jika perusakan bumi itu merupakan perilaku seseorang, maka orang itu disebut sebagai orang musyrik alias menyekutukan Tuhan. Agar tidak terjerumus ke jurang kemusyrikan manusia diperintah untuk menghadapkan dirinya kepada agama, jalan hidup, yang lurus. Yaitu, jalan hidup yang tidak menimbulkan kerusakan dan merugikan orang lain dan dirinya sendiri. Jalan hidup yang demikian inilah yang disebut “islam” (sebagai generik). Dalam kehidupan aktual, islam yang generik ini bisa disebut Islam, Yahudi, Kristen, Hindu, Buddha, dan lain-lainnya.

Ketiga, manusia harus berusaha berada di jalan yang lurus. Di tempat lain disebut sebagai orang yang bertakwa. Usaha ini harus ditempuh sebelum datangnya hari dari Allah yang disebut sebagai “hari yang tidak dapat ditolak”. Hari apa gerangan? Itulah hari kematian dan sekaligus kebangkitan seseorang. Karena dalam satu hari orang yang mati itu banyak, maka yang dibangkitkan pun banyak. Di mana dibangkitkan? Ya, di bumi ini! Lihat kembali QS 7:25.

Manusia dibangkitkan melalui kelahiran melalui ibunya sendiri-sendiri. Dalam ayat mereka disebut menjadi terpisah-pisah. Dan, disebutkan pada ayat berikutnya bahwa mereka yang kafir ya akan menanggung perbuatan kekafirannya. Yaitu, dilahirkan sebagai manusia yang sengsara. Sedangkan yang dahulunya berbuat amal saleh, ya akan dilahirkan di tempat yang penuh anugerah Tuhan.

Nah, sekarang perhatikan kata musyrik dan kafir. Identik kan? Kalau yang dirujuk itu sikap hidup, maka namanya musyrik. Tapi, kalau yang dirujuk itu keyakinan dan tindakannya yang mengingkari kebenaran, maka namanya kafir. Jadi, kafir itu tak ada kaitannya dengan agama yang dipeluk. Agama apa saja yang dipeluknya, kalau ia mengingkari kebenaran atau melakukan kerusakan maka ia termasuk orang kafir!

Keempat, Allah tidak mencintai orang-orang yang ingkar. Perhatikan pernyataan “tidak mencintai”, lâ yuhibbu! Ini tidak dapat diterjemahkan menjadi tidak menyukai. Berbeda! Allah tidak terlibat dalam suka dan tidak suka. Allah juga tidak terlibat dalam soal membenci atau tidak membenci. Allah itu bersifat mahabbah, mencintai hamba-Nya. Tetapi, kalau si hamba itu mengingkari-Nya, maka Dia tidak mencintainya.

Apa bedanya “tidak mencintainya” dengan “membenci”? Benci adalah perasaan tidak suka. Jadi, kalau Tuhan membenci berarti dalam diri Tuhan itu terkandung perasaan tidak suka. Ini tentu saja berlawanan dengan sifat-Nya yang rahman dan rahim. Jelas, tidak mungkin terjadi sifat yang saling berlawanan pada dirinya. Sifat Tuhan adalah Cinta. Maka, karena itu para ahli tasawuf menyebut Tuhan itu sendiri Cinta.

Cinta itu bukan suka! Cinta mengandung makna karunia. Artinya, sesuatu yang dicintai niscaya mendapat perhatian atau karunia dari yang mencintai. Jadi, kalau Tuhan mencintai seorang hamba, maka hamba itu akan mendapatkan cucuran rahmat dan karunia dari-Nya. Misalnya, sang hamba yang dicintai Tuhan itu akan mendapatkan perlindungan, pertolongan dan kenikmatan. Lha, kalau Tuhan “tidak mencintai” orang kafir, maka Dia membiarkan si kafir itu menerima akibat perbuatan-Nya.

Nah, apa yang diharapkan manusia? Tentu saja, rahmat-Nya. Kalau belum dapat melepaskan diri dari bumi ya perlindungan dan kenikmatan hidup di bumi. Dengan perlindungan-Nya itu seorang manusia dapat terus-menerus berusaha di jalan yang benar.

Dalil-dalil Reinkarnasi

Umat Islam merasa bahwa reinkarnasi itu tidak diajarkan dalam Islam. Bahkan pandangan tentang reinkarnasi dianggap bid’ah. Atau, pandangan sesat. Hal ini dapat dimengerti, karena reinkarnasi tidak dijelaskan secara eksplisit di dalam Alquran. Untuk dapat memahaminya kita harus benar-benar serius dalam menelaah ayat-ayat Alquran maupun Hadis.

Mengapa reinkarnasi di dalam Alquran tidak dijelaskan secara eksplisit dalam satu topik tersendiri? Karena, Alquran diwahyukan kepada Nabi sesuai dengan budaya Arab yang ada pada waktu itu. Dalam budaya Arab, kehidupan di akhirat saja diangap aneh. Kalau toh ada orang-orang Quraisy yang menerima pandangan tentang akhirat, sebenarnya itu merupakan pengaruh agama Yahudi, Nasrani dan Majusi.

Apa pandangan asli Arab tentang hidup sesudah mati? Tidak ada! Orang Arab pra-Islam berpandangan bahwa hidup ini hanya sekali saja. Hal ini direkam di beberapa ayat Alquran. Marilah kita baca dengan seksama rekaman Alquran terhadap kepercayaan orang-orang Arab pra-Islam.

6:29 – Dan, tentu mereka akan mengatakan: “Hidup hanyalah kehidupan kita di dunia saja, dan kita sekali-kali tidak akan dibangkitkan.”

23: 35-37 – “Apakah dia menjanjikan kepada kamu sekalian bahwa bila kamu telah mati, telah menjadi tanah dan tulang-belulang, kamu akan dikeluarkan? Jauh, jauh sekali (dari kebenaran), apa yang diancamkan kepadamu. Kehidupam kita itu tidak lain hanyalah kehidupan kita di dunia ini, kita mati dan kita hidup, dan sekali-kali tidak akan dibangkitkan lagi.”

34:7 – “Dan orang-orang kafir berkata: ‘Maukah kamu kami tunjukkan seorang lelaki yang memberitakan kepadamu bahwa apabila badanmu telah hancur, sesungguhnya kamu benar-benar akan dibangkitkan dalam ciptaan baru?’”

44:35 – “Tidak ada kematian selain kematian kami yang pertama. Dan kami sekali-kali tidak dibangkitkan.”

Ayat-ayat tersebut sudah jelas menggambarkan kepercayaan yang ada pada masyarakat Arab. Mereka itu tidak percaya bahwa kehidupan itu tidak berakhir dengan kematian. Mereka meyakini bahwa kehidupan ini sekali saja, dan kematian merupakan akhir bagi segalanya. Makanya, mereka itu hedonistis. Mereka itu hanya berusaha mencari kesenangan duniawi semata. Mereka tidak peduli bahwa kesenangan yang diusahakan itu merugikan orang lain atau tidak.

Mereka kaget luar biasa ketika Nabi Muhammad mengajarkan tentang kehidupan setelah kematian. Baru dinyatakan ada kehidupan baru sebagai ciptaan baru setelah mati, mereka itu sudah menolak. Apalagi kalau mereka itu dijelaskan secara gamblang bahwa kehidupan itu bisa berlanjut berkali-kali, mungkin nggak percayanya itu kuadrat.

Reinkarnasi itu ayat mutasyabihat. Ya, kelahiran kembali itu diungkapkan dalam Alquran secara tersamar. Ayat-ayatnya harus dipikirkan dan direnungkan dalam-dalam. Kalau tidak dipikirkan masak-masak, pasti akan terjerumus pada penerjemahan atau penafsiran yang menyimpang.Ayatnya tidak disampaikan secara berurutan atau sering diselipkan di berbagai topik kehidupan. Makanya, kalau kita tidak jeli membacanya akan kecele.

16:70 – “Allah menciptakan kamu. Kemudian, Allah mewafatkan kamu (mengakhiri hidupmu di bumi ini), dan di antara kamu ada yang dikembalikan pada umur yang paling lemah, agar dia tidak mengetahui lagi sesuatu pun yang pernah diketahuinya. Sesunggunya Allah Maha Menge-tahui dan Mahakuasa.”

16:77 – “Dan kepunyaan Allahlah segala yang gaib di langit maupun di bumi. Dan, tidaklah perintah kebangkitan itu selain sekejap mata atau lebih cepat. Sesungguhnya Allah Mahakuasa atas segala sesuatu.”

16:78 – “Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatu pun. Dan, Dia memberimu pendengaran, peng-lihatan dan fuad agar kamu dapat bersyukur.”

Pertama, pada umumnya orang yang hidup di bumi ini berakhir dengan kematian. Tentu saja, ada yang benar-benar telah wafat, alias telah sempurna hidupnya, sehingga tidak dilahirkan kembali di bumi ini. Tapi, kebanyakan manusia itu dilahirkan kembali. Dalam bahasa ayat di atas dinyatakan sebagai “dikembalikan pada umur yang paling lemah”. Umumnya, kalimat ardzal al-‘umur pada ayat tersebut diartikan “tua-renta”. Sedangkan kalimat “tidak mengetahui sesuatu pun yang pernah diketahuinya” diartikan dengan “pikun” atau pelupa karena sudah tua sekali.

Penerjemah biasanya tidak memahami bahasa Indonesia dengan benar. Mereka tidak menyadari bahwa “tua-renta” itu belum tentu lemah. Banyak orang di Indonesia ini yang umurnya sudah 80 tahun masih tampak lebih segar daripada yang berumur 40 tahun. Beberapa negarawan kita sudah berumur lebih dari 80 tahun, tapi masih berbicara tentang politik dan situasi negara kita dewasa ini secara kritis. Maka, jelas kalimat “dikembalikan pada umur yang paling lemah” itu tidak berarti tua-renta atau lanjut usia.

Kedua, kalimat “tidak mengetahui sesuatu pun apa yang pernah dike-tahui sebelumnya” diartikan dengan “pikun”. Ini salah besar! Orang pikun itu pelupa. Mudah lupa terhadap apa yang diketahui atau dikerjakannya. Tapi, pikun itu masih ada yang diingat. Bukan tidak ingat sama sekali apa yang pernah diketahui, atau lost memory. Dan, pikun itu sifat yang ada pada orang tua yang telah lanjut usia di mana saja. Namun, tidak setiap orang yang lanjut usia itu pikun. Jadi, tidak mungkin bangsa Arab tidak punya khazanah untuk kata pikun. Dalam bahasa Arab, pikun itu mukharraf.

Jadi, kondisi tua-renta dan pikun itu tidak merupakan pemetaan satu-satu. Artinya, ada orang yang tua-renta tidak pikun, dan ada orang pikun yang masih muda usianya. Makanya, harus kita cari ayat-ayat yang menya-takan “tidak tahu sesuatu pun apa yang pernah diketahuinya” itu dalam kaitan yang lain. Ternyata, pada ayat 78 disebutkan bahwa kalimat tersebut terkait dengan pernyataan “dikeluarkan dari perut ibumu”. Artinya, “tidak tahu sesuatu pun” itu dimiliki oleh bayi yang baru dilahirkan. Dan, di ayat sebelumnya dijelaskan bahwa kondisi ini disebut kebangkitan! Dus, kebangkitan seseorang itu ada di bumi ini, yaitu keluar dari perut ibu.

Ya…, kebangkitan adalah kelahiran. Dan, ini cocok dengan makna bangkit itu sendiri. Yaitu, bangkit sebagai manusia kembali. Dengan adanya kebangkitan atau kelahiran itu, maka orang yang telah mati, dan tulang-belulangnya telah hancur, akan hidup kembali sebagai ciptaan yang baru yang disangkal oleh orang-orang Arab pra-Islam.

Maka, kiamat dalam pengertian kita selama ini sebenarnya kelahiran kembali. Inilah yang disebut reinkarnasi. Dan, kehidupan dunia yang kita alami saat ini adalah akhirat bagi kehidupan masa lalu. Siksa dan pahala yang dialami saat ini merupakan buah perbuatan pada kehidupan masa lalu. Namun Tuhan itu rahman dan rahim, sehingga manusia dapat melanjutkan perjalanannya untuk kembali kepada-Nya.

Jika pada kedua ayat tersebut masih samar-samar dan memerlukan kejelian dalam membacanya, maka pada Surah Yâ Sîn [36]: 68 yang biasa dibaca oleh orang Islam pada berbagai kesempatan, hal reinkarnasi itu lebih jelas lagi. Bunyi terjemahan ayatnya, “Dan barangsiapa yang Kami panja-ngkan hidupnya niscaya Kami kembalikan pada kejadiannya. Apakah mereka itu tidak memikirkannya?”

Perhatikan! Pemanjangan hidupnya di bumi ini niscaya diikuti dengan kembalinya pada kejadiannya. Yaitu, dilahirkan sebagai bayi! Tapi, meski sudah terang-benderang maknanya, hampir penerjemah Alquran standar memberikan catatan kaki bahwa itu dikembalikan menjadi lemah dan kurang akal. Jelas, ini orang yang ngawur! Mana ada panjang umur selalu diikuti dengan lemah dan kurang akal? Sepikun-pikunnya atau kurang akalnya orang tua, masih lebih cerdas daripada bayi. Sebagaimana sudah dijelaskan bahwa orang yang telah lanjut usianya belum tentu pikun. Beberapa kepala negara malah masih aktif memimpin, meski umurnya sudah di atas 80 tahun. Tetapi, banyak orang yang baru berusia 60 tahun sudah menunjukkan gejala kepikunan.

Apa arti dikembalikan pada “kejadian”. Bukankah kejadian manusia itu berawal dari seorang bayi? Bagaimana mungkin mereka memahami kejadian sebagi lemah dan kurang akal? Rupanya, mereka itu perlu dididik biologi, agar mereka memahami arti kejadian manusia hingga wafatnya. Mereka perlu diajari membaca kamus dan struktur kalimat bahasaIndonesia. Untuk apa? Agar kalau ada kalimat “tidak mengetahui sesuatu pun” tidak diterjemahkan pikun. Bahasa untuk pikun itu ada di setiap bangsa. Karena, pikun merupakan fenomena yang menimpa orang tua atau lanjut usia.

Bahkan karena sesuatu gangguan, ada orang-orang yang kehilangan ingatan terhadap apa yang pernah diketahuinya. Mereka ini tidak terkait dengan batasan usia. Tapi, hal ini disebabkan oleh gangguan pada saraf otaknya. Ini kasus! Sehingga, hal semacam ini tidak dimasukkan dalam ayat. Maka, kalimat “tidak mengetahui sesuatu pun” harus dicarikan kaitannya pada ayat yang lain. Ini yang namanya menafsirkan ayat Alquran dengan ayat Alquran lainnya. Inilah penafsiran yang paling valid!

Kemudian, kalau kita melihat Surah Yâ Sîn di atas, ayat 68 itu ditutup dengan kalimat “apakah mereka tidak memikirkan”. Kalau kita dalam hidup sehari-hari ini menjumpai sesuatu yang lazim, maka kita tak perlu memikirkan maknanya. Kita baru memikirkan sesuatu jika kita ingin mengetahui makna di balik kejadian yang tampak itu.

Reinkarnasi dalam Hadis. Selain ayat-ayat Alquran, indikasi adanya reinkarnasi itu dapat kita temukan dalam beberapa Hadis. Di bawah ini saya cuplikkan beberapa Hadis yang ada kaitannya dengan reinkarnasi.

“Demi Tuhan yang jiwaku dalam genggaman-Nya, seandainya seseorang gugur di jalan Allah, kemudian dihidupkan lagi lalu gugur lagi, kemudian dihidupkan lagi lalu gugur lagi, niscaya ia tidak dapat masuk surga sebelum melunasi hutangnya.” (H.R. Nasai)

“Orang yang berhutang itu dibelenggu dalam kuburnya, tiada yang dapat melepaskannya selain ia membayar hutangnya.” (H.R. Dailami)

“Sesungguhnya di antara dosa-dosa ada yang tidak dapat ditutupi oleh salat, puasa, haji dan umrah. Yang dapat menutupinya hanyalah duka-cita (kesulitan) dalam hidup mencari rezeki.” (H.R. Ibnu Asakir)

Pertama, meskipun gugur berkali-kali tapi bilamana belum melunasi hutangnya, ia tak akan masuk surga. Perhatikan, kata gugur berkali-kali dan hutang. Secara sederhana umat Islam menerjemahkan hutang itu dalam arti hutang harta-benda. Tidak sepenuhnya benar! Yang jelas, hutang harta-benda itu bagian dari hutang perbuatan (karma).

Dan lagi, pada kalimat di atas tidak dinyatakan “kecuali jika ada hutang, keluarganya melunasinya”. Kalimat ini tidak ada. Yang ada, justru menegaskan bahwa yang gugur itulah yang melunasinya. Jadi, hutang itu tidak dapat dilunasi orang lain. Seseorang tidak menanggung beban atau dosa orang lain. Setiap orang akan menanggung dosanya sendiri. Itulah yang dijelaskan di berbagai ayat Alquran.

Kedua, hidup susah dalam mencari rezeki adalah cara untuk menutupi dosa-dosa. Coba, dosa darimana? Kalau hidup sekarang ini merupakan hidup yang pertama kali, maka tidak adil kiranya bila ada orang yang dilahirkan menderita di kolong jembatan. Padahal, Tuhan sudah menyatakan dengan tegas bahwa Dia tidak menzalimi hamba-hamba-Nya.

Bayak sekali di dunia ini orang yang hidupnya menderita semenjak dilahirkan di bumi ini. Menurut Hadis di atas, penderitaan itu sebenarnya untuk menutupi dosa-dosanya. Dan, dosa-dosa itu sendiri tidak dapat ditutupi oleh ibadah formal. Dosa yang tidak bisa dihapus dengan cara salat, puasa, umrah dan haji. Ini tentu saja dosa yang berat. Sehingga perbuatan ibadahnya pun tak bisa menghapusnya. Dosanya hanya hapus bila dia dilahirkan kembali di bumi ini sebagai orang yang hidup menderita!

Kiranya penjelasan saya tentang reinkarnasi pada hari ini saya sudahi sampai di sini. Penjelasan selanjutnya akan diberikan pada pertemuan di tempat yang sama minggu depan, tgl 31 Oktober 2004 tentang “Bentuk-bentuk Reinkarnasi dan Kesudahannya”.

Sampai jumpa. Terima kasih.

Salam,
oleh Achmad Chodjim
http://syeikhthanauddin.blogspot.com/2011/12/reinkarnasi-dalam-islam.html