Kesulitan menjawab atau menjelaskan sesuatu menggoda kita untuk berbohong “putih” pada balita
Vaira (4 tahun) protes saat menemani Bundanya ke supermarket. “Bunda bohong. Tadi pas Adel minta mainan katanya nggak punya uang. Sekarang kok Bunda mau belanja-belanja.?”
Orangtua terkadang menemui kesulitan saat menjawab pertanyaan anak atau memberi alasan terhadap suatu tindakan. Itu yang membuat, sadar atau tidak sadar, kita melontarkan bohong putih alias berbohong untuk tujuan baik. Bohong putih atau white lies sebenarnya tidak jahat, hanya lebih mempermudah pembicaraan, menyederhanakan masalah atau melindungi kepolosan anak yang belum cukup umur untuk mengerti topik pembicaraan tertentu.
Selama ini banyak orang menganggap sesekali bohong putih itu tidak apa-apa. Namun dari sisi psikologi perkembangan anak, bohong putih tetaplah suatu kebohongan yang bisa berdampak negatif bagi balita, karena:
Vaira (4 tahun) protes saat menemani Bundanya ke supermarket. “Bunda bohong. Tadi pas Adel minta mainan katanya nggak punya uang. Sekarang kok Bunda mau belanja-belanja.?”
Orangtua terkadang menemui kesulitan saat menjawab pertanyaan anak atau memberi alasan terhadap suatu tindakan. Itu yang membuat, sadar atau tidak sadar, kita melontarkan bohong putih alias berbohong untuk tujuan baik. Bohong putih atau white lies sebenarnya tidak jahat, hanya lebih mempermudah pembicaraan, menyederhanakan masalah atau melindungi kepolosan anak yang belum cukup umur untuk mengerti topik pembicaraan tertentu.
Selama ini banyak orang menganggap sesekali bohong putih itu tidak apa-apa. Namun dari sisi psikologi perkembangan anak, bohong putih tetaplah suatu kebohongan yang bisa berdampak negatif bagi balita, karena:
- Tidak mengajarkan anak patokan moral yang baik dan buruk, dengan cara tidak mengatakan hal yang sebenarnya.
- Membuat anak menerima pesan yang salah dan membingungkan, yang dapat memengaruhi mereka dalam kehidupan bermasyarakat kelak (penelitian Profesor Gail Heymandari Universitas California, AS, pada 130 anak dan orangtuanya mengenai ‘bohong putih’).
- Menimbulkan tanda tanya dan rasa tidak nyaman pada anak, karena anak usia 4-5 tahun sebenarnya mulai paham apakah seseorang tengah berbohong atau tidak, lewat kata-kata atau bahasa tubuh orang tersebut.
- Membuat anak meniru cara yang dicontohkan orangtuanya jika kelak ia berada di situasi yang sama.
- Membuat anak tidak belajar mengembangkan nalarnya, karena dia seolah-olah dibungkam dengan jalan pintas. Padahal, anak seharusnya memiliki kemampuan analitik untuk belajar mengapa begini mengapa begitu.
- Memutus rantai komunikasi antara orangtua dengan anak, karena anak “dipaksa” percaya begitu saja pada apa yang dikatakan orangtua dan digiring untuk berhenti bertanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar