Selasa, 31 Juli 2012

Bentuk-bentuk Reinkarnasi dan Kesudahannya

oleh Achmad Chodjim
Sebenarnya kepercayaan tentang adanya surga, neraka, padang mahsyar, dan hari perhitungan dengan meniti jembatan setipis rambut dibelah tujuh, merupakan kepercayaan yang telah berkembang di Timur Tengah jauh sebelum hadirnya agama Islam. Kepercayaan ini telah mengakar. Islam yang datang di kemudian hari menyerapnya sebagai bagian dari kepercayaannya. Tentu, hal ini lebih menonjol di dalam Hadis daripada di Alquran.
Meskipun kepercayaan itu telah berkembang di masyarakat Timur Tengah, namun masyarakat Quraisy (Mekah) –terutama para elitnya– lebih menekankan pada keyakinan hidup dan mati hanya sekali. Maka, akhirat yang ditawarkan oleh Nabi Muhammad saw mendapatkan sanggahan yang amat keras dari mereka. Keyakinan tentang kebangkitan, yaitu terciptanya kembali manusia seperti sedia kala (QS 18:48) ditolak mereka.
Diterimanya kepercayaan tentang akhirat, kiamat, surga dan neraka, telah mengesampingkan pandangan tentang reinkarnasi. Kelahiran kembali manusia di dunia ini dianggap mustahil bin mustahal. Semua ayat yang mengindikasikan adanya “kebangkitan” atau kelahiran kembali di dunia ini (QS 7:25) dipahami sebagai kebangkitan yang terjadi setelah dunia hancur lebur. Perhitungan tentang amal baik dan buruk dianggap ada setelah manusia dibangkitkan nanti.
Kiamat, surga dan neraka, telah menjadi “mind set”, menjadi suatu yang baku dalam pikiran umat Yahudi, Kristen, dan Islam. Seolah-olah tidak diperlukan penjelasan tentang hal-hal itu. Seolah-olah kiamat itu merupakan peristiwa hancurnya alam semesta sebelum dicanangkannya kehidupan baru di dalam surga atau neraka. Padahal, yang semacam inilah yang pada abad-abad awal perkembangan agama Islam, atau awal perkembangan agama Yahudi dan Kristen, telah memicu konflik kepercayaan. Dalam, agama Islam misalnya, terjadi debat tentang bayi yang mati dimasukkan ke dalam surga atau neraka. Tentang jika bayi mati langsung masuk surga, mengapa orang yang bakal menjadi durhaka tidak dimatikan sejak bayi. Dan lain-lain. Nah, akibatnya umat tidak diberi teladan untuk berbuat kebaikan, tapi disibukkan dengan pertikaian.
Manusia Lahir Kembali sebagai Manusia?
Reinkarnasi, atau dilahirkan kembali tidaklah bermakna tunggal. Ada yang beranggapan bahwa kelahiran kembali itu dapat berwujud sebagai apa saja tergantung amalnya. Dapat dilahirkan sebagai manusia atau binatang. Atau, mungkin menjadi tumbuhan. Namun, bagi para spiritualis generasi sekarang, umumnya mereka beranggapan bahwa reinkarnasi itu proses hidup dari manusia ke manusia. Artinya, sebagai manusia, setelah kematiannya pada babak berikutnya akan dilahirkan sebagai manusia lagi. Tentu, ia akan dilahirkan sebagai manusia yang menderita atau bahagia itu tergantung pada amal perbuatannya.
Mengapa, jika reinkarnasi itu sebagai kebenaran bisa bermakna ganda? Ya, kebenaran adalah kebenaran. Kebenaran adalah kenyataan sebagaimana adanya, tanpa campur tangan manusia. Tetapi, ketika kebenaran itu coba dipahami oleh beberapa orang, maka makna yang diperolehnya belum tentu sama. Karena, kebenaran itu sendiri memiliki banyak sisi dan manusia yang mencoba memahami itu tergantung pada pengalamannya.
Oleh karena penjelajahan dan eksplorasi terhadap kehidupan manusia itu masuk kajian misteri, yaitu berada di balik sesuatu yang me-“materi”; maka kajian terhadap reinkarnasi tidak dapat dilepaskan dari pegangan orang yang mencoba memahaminya. Saya, tentunya juga tidak lepas dari teks-teks ajaran agama yang saya peluk. Jadi, meskipun pada sudut globalnya, yaitu saya menerima reinkarnasi, tapi ada nuansa lain dalam memahaminya.
Apakah kita akan dilahirkan sebagai manusia? Kalau hal ini kita coba tanyakan kepada orang-orang yang menyelidiki reinkarnasi melalui meditasi yang mengeksplorasi pengalaman hidup di masa lalu, tentu jawabannya akan beragam. Bagi yang merasa pernah menjadi binatang, jawabannya pasti dalam hidup ini kita bisa dilahirkan sebagai binatang. Bagi yang dalam penglihatannya di dalam meditasi itu tidak pernah mengalami sebagai hewan tentu akan menjawab bahwa reinkarnasi itu dari manusia menjadi manusia. Dan, ini tentu saja tidak dapat diperdebatkan.
Tapi, dalam kehidupan ini ada orang-orang yang mampu menimba sebanyak-banyaknya pengalaman hidup yang pernah dilaluinya di masa lalu. Mereka itu adalah para nabi, avatar, utusan dan yang setingkatnya. Mereka mampu membabar dan membeberkan kebenaran masa silam menjadi kitab-kitab suci atau lembaran-lembaran suci.
Nah sekarang marilah kita perhatikan ayat berikut ini
QS al-Kahf [18]: 48.
Wa ‘uridhû ‘alâ rabbika shaffâ laqad ji’tumûnâ kamâ khalaqnâ kum awwala marrah bal za‘antum allan naj‘ala lakum maw‘ida
Dan, mereka akan dibawa kepada Tuhan dikau dengan berbaris. Sesungguhnya kalian akan datang kepada Kami sebagaimana Kami ciptakan kalian pertama kalinya. Bahkan kalian mengatakan bahwa Kami tidak akan menetapi perjanjian.
QS al-An‘âm [6]: 94,
Walaqad ji’tumûnâ furâdâ kamâ khalaqnâ kum awwala marrah wa taraktum mâ khawwalnâ kum warâa zhuhûri kum wa mâ narâ ma‘a kum syufa‘â kum alladzîna za‘amtum anna hum fî kum syurakâ’ laqad taqattha‘a bayna kum wa dhalla ‘an kum mâ kuntum taz‘umûn
Dan sesungguhnya kalian akan datang kepada Kami sendiri-sendiri sebagaimana Kami menciptakan kamu pada mulanya. Kalian telah meninggalkan pada generasi berikutnya apa yang telah Kami karuniakan kepada kalian. Dan, Kami tidak melihat pemberi syafaat yang kalian anggap sebagai sekutu Tuhan itu bersama kalian. Sungguh telah terputus dan lenyap antara kamu dengan apa yang kalian anggap sebagai sekutu Tuhan.
Dua ayat di atas sebenarnya menjelaskan tentang kelahiran kembali manusia di atas bumi ini. Agar lebih jelas pemahaman ayat itu, mari kita perhatikan secara seksama kedua ayat tersebut.
Pertama, ayat pada al-Kahf menjelaskan bahwa manusia akan hadir di Hadapan Tuhan dalam shaf-shaf, berbaris. Tentu ini tidak dapat diartikan seperti tentara yang melakukan baris-berbaris. Mengapa? Karena Tuhan itu tan kena kinaya ngapa. Tuhan tidak dapat dibayangkan seperti apa pun. Dus, berbaris di Hadapan Tuhan harus dipahami sebagai hadir mengikuti aturan bekerjanya alam. Atau, mengikuti mekanisme alam.
Bagaimanakah mekanismenya? Nah, baik pada Surah al-Kahf maupun Surah al-An‘âm, diterangkan bahwa manusia akan datang kepada “Kami” secara sendiri-sendiri sebagaimana “Kami” menciptakan pada mulanya. Ya, sengaja kata “Kami” saya tempatkan dalam tanda petik, dan tidak saya ganti dengan kata “Tuhan”. Ada perbedaan di antara keduanya. Kalau disebut kata “Tuhan” itu memang yang dimaksud adalah Tuhan itu sendiri. Yang ditonjolkan adalah kebesaran-Nya. Perhatikan kalimat “mereka akan dibawa kepada Tuhan”.
Apa artinya kalimat tersebut? Artinya, hidup dan mati ini tidak dapat dilepaskan dari Kehadiran Tuhan Semesta Alam. Inilah cara mendidik manusia untuk mengeliminasi egoismenya. Agar di dalam hidup ini kita sadar bahwa kita ini dalam perjalanan menuju kepada Dia. Kita hidup tidak main-main. Meskipun mekanisme hidup itu bagaikan permainan dan sandiwara. Jadi, kita harus membedakan antara “mekanisme” dan “tujuan” hidup di dunia fana ini.
Kedua, tujuan hidup adalah kembali kepada Tuhan. Tapi, ketika yang disebutkan mekanisme kembali kepada Tuhan, maka kata “Tuhan” disebut dengan kata “Kami”. Ini kata yang bermakna “jamak”, plural. Mengapa dalam penciptaan manusia tidak disebut kata “Saya”? Ya, karena Tuhan itu tan kena kinaya ngapa. Dalam penciptaan manusia, Tuhan tidak mencipta seperti sosok makhluk yang berkuasa. Ada berbagai unsur yang dilibatkan dalam penciptaan manusia. Selain kedua orangtua, unsur lingkungan juga ikut menentukan.
Hakikat dari hakikat memang Tuhanlah yang menjadi pencipta. Tapi, di alam nyata ini ternyata Tuhan tidak menciptakan manusia, hewan, tumbuhan dan lain-lainnya dengan cara “sim salabim”. Penciptaan makhluk hidup melalui mekanisme perkembangbiakan di alam. Dan, untuk manusia, perlu kehadiran orangtua dan ketersediaan unsur-unsur pembentuk jasad hidup manusia. Di antaranya kandungan sel sperma per mililiternya harus sekian ratus juta, meski yang dibutuhkan hanya satu sel sperma.
Ketiga, manusia datang kepada “Kami” sendiri-sendiri. Perhatikan dengan seksama mengapa bukan datang kepada “Aku”. Karena, “Aku” adalah pribadi. Perintah mengabdi atau menyembah kepada Tuhan disebut dengan menyembah kepada “Nya”, “Engkau”, atau “Aku”. Ungkapan ini benar-benar bermakna Tuhan sendiri. Tetapi, “penciptaan” dan “datang” dikaitkan dengan kata “Kami”. Artinya apa? Ini artinya, penciptaan oleh Tuhan itu melalui segenap kehadiran unsur yang dapat dilihat dan disaksikan melalui indra manusia. Nah, datang kepada-Nya pun melalui mekanisme alam yang dapat dilihat dan disaksikan.
Maka, pada kedua ayat tersebut dikatakan bahwa datang kepada Tuhan itusebagaimana Tuhan menciptakan pada mulanya. Inilah sistem penciptaan dan datang yang normal. Lahir sebagai manusia dan akan dilahirkan lagi sebagai manusia. Lahir sebagai bayi dan akan dibangkitkan (dikiamatkan) sebagai bayi. Inilah jalan untuk menjadi manusia sempurna. Karena, hanya dengan hadir sebagai manusia yang hidup manusia dapat meningkatkan amal baktinya dalam hidupnya.
Dengan proses semacam itu, Tuhan telah menetapi dan menepati janji-Nya, atau telah memenuhi perjanjian yang telah disetujui sang hamba seperti yang diungkapkan dalam QS al-A‘râf [7]: 172. Dengan proses lahir dan lahir lagi di bumi ini manusia diberi kesempatan untuk memperhatikan siapa dirinya dan bagaimana caranya untuk kembali kepada-Nya. Dengan lahir dan lahir berulang-ulang sebagai manusia, ia bisa meningkatkan kualitas dirinya untuk turut serta hamemayu hayuning bawana. Yaitu, sikap hidup untuk terus-menerus meningkatkan keindahan bumi yang diciptakan Tuhan dengan segenap kebaikannya. Maka, menurut konsep Jawa, insan kamil atau manusia sempurna adalah manusia yang dapat menjalankan AIU. Yaitu, aku ini urip, aku iki di-uripi lan ang-uripi. Dalam bahasa Indonesia, “saya ini hidup, semula dihidupi dan selanjutnya menghidupi”.
Dus, secara tata-cara alam, manusia sebenarnya makhluk yang sudah tumbuh menjadi sempurna. Dalam perjalanannya manusia berangkat sebagai makhluk sempurna untuk menjadi manusia sempurna, yaitu manusia yang mampu menjadikan dirinya “AIU”. Hanya manusia sempurnalah yang dapat kembali kepada Yang Maha Sempurna, yaitu Tuhan Yang Maha Esa. Dalam bahasa Alquran disebutkan bahwa manusia itu diciptakan dalam ujud (bukan wujud) yang terbaik daripada sebagian besar makhluk-Nya.
Keempat, manusia tidak sama dengan hewan. Bila hewan mati, maka ia tidak meninggalkan apa-apa –kecuali bangkai– kepada generasi berikutnya. Manusia memiliki nilai. Karena itu, manusia ingin mewariskan nilai itu kepada generasi berikutnya. Nah, nilai itu dapat berupa hal yang material maupun yang imaterial. Yang imaterial adalah ajaran-ajaran tentang budi luhur. Sedangkan yang material adalah harta benda yang dalam ayat di atas disebut karunia Tuhan yang ditinggalkan kepada generasi berikutnya.
Kecaman pedas ditujukan kepada orang yang landasan hidupnya hanya berupa material. Banyak orang yang berpikiran bahwa harta benda dapat menyelamatkan dirinya. Ternyata, harta benda itu terpaksa ditinggalkan ketika mereka mengalami kematian. Apa yang dirasakan sebagai syafaat atau penolong dalam hidup sebelumnya, ternyata telah putus. Lenyap. Tidak lagi berfungsi seperti sebelumnya. Mengapa? Sebab, bilamana pada masa hidup sebelumnya kaya dan hanya mengandalkan kekayaannya untuk kelangsungan hidupnya, maka boleh jadi ia sekarang hidup dalam kondisi yang sebaliknya yaitu menderita kemiskinan.
Dengan ayat-ayat tersebut sebenarnya manusia diingatkan untuk tidak terjebak dalam kehidupan material belaka. Material adalah sesuatu yang fana sifatnya. Material tidak dapat membantu dirinya dalam perjalanan hidup selanjutnya. Maka, apa yang perlu diwariskan? Tiada lain adalah budi luhur atau akhlak mulia. Maka, ajaran Nabi Muhammad yang paling pokok adalah memraktikkan hidup yang berakhlak mulia. Dalam Hadis disebut, innama buitstu li utammima makârim al-akhlâq, sesungguhnya saya dibangkitkan untuk memprioritaskan budi pekerti yang mulia. Alias, budi luhur.
Sayang, akhlak mulia alias budi luhur ini dilupakan oleh sebagian besar pemeluk agama. Ya, agama apa saja! Pemeluk agama umumnya dibawa ke hal-hal yang sifatnya semu. Hal-hal yang sifatnya untuk konsumsi politik dan ekonomik tokohnya. Kalau sudah demikian, meski manusia dilahirkan berkali-kali sebagai manusia, tapi tak ada peningkatan kualitas, bahkan kualitasnya amat buruk dan lebih buruk dari hewan.
Dalam kenyataan di lapangan kita bisa melihat manusia-manusia yang perilakunya seperti hewan. Dan, bahkan ada yang pernah ditayangkan di teve swasta seorang anak yang sudah berumur 12 tahun yang tetap tidak bisa berbicara ala manusia umumnya. Kalau toh bicara, maka bicaranya itu mirip dengan bunyi burung yang cruit, cruuiit, ceertt. Dan, makannya pun tidak selayaknya manusia. Bukan nasi, sayur dan lauk-pauk, tapi daun-daunan semata. Sehingga, orangtuanya senantiasa mencarikan ranting-ranting muda yang dipenuhi daun. Lahap sekali dalam memakan daun.
Bisakah Manusia Dilahirkan Kembali sebagai Binatang?
Sudah disebutkan bahwa mekanisme normal menyebabkan manusia tetap dilahirkan kembali sebagai manusia. Tapi, di alam senantiasa terjadi distorsi, atau penyimpangan kejadian. Kita ambil contoh kelamin manusia. Secara alami manusia itu diciptakan menjadi manusia yang berkelamin laki-laki dan yang berkelamin perempuan. Semua kitab suci menyebut demikian. Tetapi, faktanya ada penyimpangan. Saya beberapa kali mendengar ada anak yang dilahirkan memiliki kelamin ganda. Dan, di bulan Oktober 2004 ini saya melihat suatu acara liputan di siang hari tentang seorang anak yang berkelamin ganda. Diperlihatkan di teve tersebut secara normal yang tampak adalah “alat kelamin laki-laki”. Jadi, secara sepintas tidak ada tanda-tanda bahwa dia mempunyai kelainan kelamin. Pokoknya kelihatan utuh kelamin laki-laki. Tapi, ketika batang penisnya diangkat, maka ternyata buah pelirnya berupa vagina. Ya, vagina yang sama dengan yang dimiliki seorang perempuan. Seandainya penis itu dipotong, ya tinggal vaginanya.
Nah, secara faktual ada penyimpangan kelamin. Dan, penyimpangan itu tidak banyak. Secara statistik sebuah kebenaran pun hanya berada dalam selang kepercayaan. Artinya, kebenaran bukanlah sesuatu yang bulat seratus persen. Katakanlah sesuatu dianggap benar bila ada dalam jangkauan 95-99 persen benar. Tapi, ada yang menyimpang meskipun 1 persen atau kurang. Itu dapat diamati dalam kehidupan sehari-hari.
Jadi, jangan heran bilamana kita pun menyaksikan perilaku hewan yang dalam ungkapan Jawa dikenal dengan hewan yang kamanungsan. Artinya, secara lahiriah ia berupa hewan, tapi perilakunya seperti manusia layaknya. Ia punya pengertian. Sehingga, tidurnya pun minta bersama majikannya di atas kasur. Tidak mau minum air kotor dan hanya mau minum air yang bersih, dan perilaku manusia lain-lainnya. Ada fakta!
Bagaimana menurut kitab suci? Marilah kita periksa ayat-ayat dalam kitab suci Alquran.
Dan sesungguhnya telah kamu ketahui orang-orang yang melanggar di antaramu pada hari Sabbat, lalu Kami berfirman kepada mereka: “Jadilah kamu kera yang hina!” (QS 2:65)
Katakanlah: “Apakah akan aku beritakan kepadamu tentang orang-orang yang lebih buruk pembalasannya dari orang-orang fasik pada Sisi Allah, yaitu orang-orang yang dikutuki dan dimurkai Allah , di antara mereka ada yang dijadikan kera dan babi, dan penyembah tagut?” Mereka lebih buruk tempatnya dan lebih tersesat jalannya. (QS 5:60)
Maka, tatkala mereka bersikap sombong terhadap larangan yang ditetapkan kepada mereka, Kami katakan kepada mereka: “Jadilah kamu kera yang hina!” (QS 7:166)
Dan mereka berkata: “Apakah bila kami telah menjadi tulang-belulang dan sesuatu yang rusak, apa benar kami dibangkitkan menjadi makhluk yang baru?”
Katakanlah: “Jadilah kamu batu atau besi,
Atau suatu makhluk yang tidak mungkin menurut pikiranmu!” Mereka bertanya: “Siapa yang akan menghidupkan kami kembali?” Katakanlah: “Yang telah menciptakan kamu pada kali mulanya.” Lalu, mereka menggeleng-gelengkan kepala kepadamu dan berkata: “Kapan itu?” Jawablah: “Semoga itu terjadi dalam waktu dekat.” (QS 17: 49–51)
..Binasalah orang yang berlaku sewenang-wenang lagi keras kepala, di samping itu ada jahanam dan dia akan diberi minuman dengan air nanah. (QS 14: 15–16)
Cukuplah kiranya ayat-ayat yang menunjukkan adanya kejadian yang menyimpang dalam kehidupan di dunia ini. Perhatikan ayat-ayat tersebut dengan seksama tanpa melibatkan emosi. Jauhkan dari sikap apriori. Lalu, baca dengan logika.
Pertama, perhatikan kata “Kami” pada ayat-ayat tersebut. Jelas yang dimaksud di ayat itu adalah mekanisme alam. Tuhan semesta alam itu Maha Penyayang. Dia dalam Diri-Nya senantiasa kasih. Makanya, tidak dikatakan “Aku berfirman” atau “Aku menetapkan”. Alam semesta itu sendiri adalahfirman Tuhan. Lalu, “Kami berfirman” sebenarnya lebih ditujukan pada “Sabda Alam”. Ya, alam yang bersabda. Mungkin kita menyangkal bahwa ada alam koq dapat bersabda. Nah, kita lupakan bahwa diri kita ini bagian dari alam, tapi toh nyatanya kita dapat bersabda.
Orang yang melanggar Hari Sabbat atau Hari Keramat bagi pemeluk Yahudi disebut orang yang melanggar pantangan alam. Karena alam mereka rusak, makanya perbuatannya itu mengakibatkan mereka menjadi kera yang hina. Ya, sudah menjadi kera, tapi kera yang hina pula. Banyak yang menafsirkan bahwa mereka yang merusak Hari Sabbat itu perilakunya seperti kera. Apa yang lepas dari ayat tersebut? Jelas sekali bahwa sabda itu bukan untuk menjadikan “seperti” kera, tapi kera sebenarnya. Bahasa Arab memiliki kosa kata untuk “seperti” yaitu ka atau kamâ. Bacalah ayat terdahulu, di situ disebutkan “kamu datang kepada Kami sebagaimana…”. Dan lagi, kalau dijadikan “seperti” kera, ya tidak usah menunggu lagi, wong mereka itu sudah seperti kera koq. Pelanggar Hari Sabbat itu perilakunya sudah seperti kera yang tidak tahu aturan. Masakan mereka masih diperintah jadi seperti kera. Hal demikian tentu tidak akan menyadarkan mereka.
Coba periksa ayat QS 5: 60! Dijelaskan pada ayat tersebut bahwa apa yang mereka lakukan itu sudah lebih buruk daripada orang fasik. Makanya, balasan yang diperoleh pun lebih buruk daripada orang yang berbuat fasik atau menyimpang dari jalan yang benar.A Maka, perbuatan mereka yang amat buruk itulah yang mengakibatkan mereka ada yang bangkit kembali sebagai kera, babi, atau penyembah tagut. Ayat ini jelas sekali, karena ada pembeda yang jelas antara hewan dan penyembah tagut. Kalau dilahirkan sebagai penyembah tagut, itu artinya dilahirkan sebagai manusia. Tapi, ia menjadi manusia yang melampaui batas-batas kehidupan itu sendiri. Atau, dengan kata lain ia menjadi manusia yang hidupnya hanya memperturutkan hawa nafsunya semata.
Entah menjadi kera, babi, atau penyembah tagut; menurut ayat tersebut mereka dikategorikan sebagai makhluk yang posisi kehidupannya lebih buruk daripada rata-rata orang, dan tidak tahu lagi jalan yang benar. Coba perhatikan! Menjadi hewan pun bukanlah hewan normal yang perilakunya berdasarkan perikehewanan. Artinya, secara wujud hewan, tapi perilakunya lebih buruk daripada hewan. Apa ada? Ya, coba saja amati hewan-hewan yang ada di sekitar kita. Kalau masih sulit membayangkan bagaimana beda kera atau babi asli dengan yang perwujudan dari manusia, ya perhatikanlah anjing yang hidup di sekitar kita.
Maka, kalau kita amati anjing, kita akan tahu perilaku anjing pada umumnya. Tapi, ada yang benar-benar kamanungsan. Ada pula yang amat jahat terhadap manusia, dan tak pernah mengerti majikan. Ia malah memilih hidup liar, dan makannya pun hanya mengandalkan sampah. Dan, ada anjing yang menjadi gila yang disebut “anjing gila”. Nah, kalau perusak kehidupan itu lahir sebagai babi atau kera, tentunya bukan babi atau kera yang disebut kamanungsan, tapi babi atau kera yang hina sebagaimana dinyatakan pada QS 2: 65 dan 7: 166. Makanya, babi dan kera yang dimaksud disetarakan dengan kehidupan para penyembah tagut.
Kedua, ada lagi yang lebih buruk daripada menjadi kera, babi atau penyembah tagut. Yaitu pada dua kelompok ayat berikutnya. Perusak kehidupan tidak dibangkitkan sebagai manusia atau binatang, tapi menjadi batu atau besi, atau makhluk yang berada di luar jangkauan pikiran.
Tidak menjadi hewan atau manusia. Artinya apa? Orang yang tidak lagi dapat dilahirkan berjasad fisik. Ini berarti cuma menjadi hantu gentayangan. Ia tersesat jalan yang amat parah. Sehingga, tidak tahu lagi kalau setiap hari ada proses penciptaan badan wadag manusia. Frekuensi energinya tidak mampu mengendus calon jabang bayi. Mereka akhirnya memilih tinggal di batu-batuan, rongsokan logam, atau benda lainnya.
Ia menjadi hantu gentayangan. Karena asal-usulnya dari manusia maka ia tetap menganggu manusia. Tentu manusia yang diganggunya itu tatkala getaran frekuensi energinya di ambang bawah. Oleh sang dukun hantu diusir-usir. Kalau ada orang baik dengan sendirinya terusir. Inilah yang disebut “tidak mengetahui jalan atau amat tersesat”.
*****
Reinkarnasi secara normal adalah manusia yang dilahirkan kembali sebagai manusia. Hanya saja ada manusia yang kelakuannya seperti hewan. Dan, ada pula yang hanya memperturutkan hawa nafsunya belaka. Tapi, sebagai akibat hukum penyimpangan, maka ada yang dilahirkan dalam wujud hewan, ternak, atau hewan piaraan. Tapi, hal ini sekali lagi hanya penyimpangan di alam. Mengapa bisa menyimpang? Ya, karena yang menjadi hewan itu hidup di jalan kehidupan yang amat dekat dengan jalan hidupnya hewan. Kalau tidak ingin terlanda banjir, ya jangan hidup di pinggir sungai. Kalau tidak ingin terbakar, ya jangan main-main api.
Nah, yang lebih celaka adalah tidak dapat dilahirkan sebagai makhluk hidup. Ia benar-benar tersesat yang kelewat batas. Ia tidak tahu caranya masuk ke dalam jabang bayi. Maka ia tetap di alam kehidupan yang tanpa badan wadag. Ia hanya bisa gentayangan.
Bagaimana Kesudahan Perjalanan Manusia?
Ketika air menjadi es, cairan, atau pun uap air, maka sebenarnya ia tetap air. Tidak lebih dan tidak kurang. Yang berubah-ubah hanya wujudnya. Hakikatnya ia tetap air. Di atas suhu 4 derajat, es akan menjadi air. Uap air yang mengumpul di angkasa jika faktor-faktor pembentuk hujan ada, maka uap itu akan turun ke bumi sebagai air.
Selama manusia hidup sebagai badan wadag atau hidup di alam astral, maka manusia tidak akan pernah kembali kepada Tuhan. Dalam jangka pendek atau dalam jangka panjang, ia akan mengalami siklus hidup sebagai manusia di bumi ini atau di planet lain. Dalam sebuah buku yang ditulis oleh Sayyid Hasan Abthahy (orang Iran), dikisahkan di dalamnya bahwa Carnes yang masih hidup berhubungan dengan Jiwa Louman yaitu temannya yang sudah meninggal. Carnes menanyakan di mana Louman sekarang tinggal. Menurut Louman dia tinggal di sebuah planet kepela dan jaraknya dari bumi adalah 71 tahun cahaya. Itulah sekilas cuplikan bahwa siklus hidup itu tidak hanya di planet bumi saja.
Manusia terus-menerus bisa meningkatkan dirinya menuju planet yang semakin indah. Hal ini dikabarkan dalam QS 39: 20, “Tetapi orang-orang yang bertakwa kepada Tuhan mereka mendapat tempat-tempat yang tinggi, di atasnya dibangun pula tempat-tempat yang tinggi yang di bawahnya mengalir sungai-sungai….
Namun demikian, ada pula yang dalam perjalanan hidupnya sudah melampaui dunia fisik di mana pun berada. Itulah orang-orang yang benar-benar kembali kepada-Nya.[]
Salam,
A.Chodjim

Tidak ada komentar:

Posting Komentar